Berawal dari Keprihatinan, Dona Sulap Kampung Kumuh Menjadi Kampung Warna

Ragam320 Dilihat
Dona Wahyuni de Fretes (28), perempuan yang menjadi aktor di balik konsep Kampung Warna, di Desa Bobotsari, Kecamatan Bobotsari Purbalingga.

Purwokertokita.com – “Dulu kampung saya ini terkenal kumuh. Saya prihatin karena perilaku warga yang sering membuang sampah di sungai, belum lagi banyak anak muda yang suka ‘minum’ di sudut gang”.

Keprihatinan ini lah yang menggerakkan Dona Wahyuni de Fretes (28), perempuan berhijab yang menjadi aktor di balik konsep Kampung Warna, di Desa Bobotsari, Kecamatan Bobotsari Purbalingga.

Awalnya, perkampungan ini nampak kumuh dan penuh dengan sampah. Dona, mengutarakan niatnya untuk menyulap kondisi kampung tersebut kepada sejumlah pemuda dan warga.

Sudut gang-gang sempit pun disulap dengan pola warna-warna cat yang kontras, lukisan, hingga seni mural menghiasi gapura bahkan sudut-sudut rumah yang berada di jalan tersebut.

“Selain untuk mengubah perilaku masyarakat, kelak akan menjadi tujuan wisata,” ujar Dona, Selasa (5/9).

Soal konsep kampung warna itu, dia mengaku terinspirasi dari Kampung Warna-warni Jodipan, Malang dan Kampung Pelangi di Semarang. Kedua kampung tersebut sudah dikenal di kalangan pelancong dari dalam maupun luar negeri.

“Sempat ada penolakan dari warga. Mungkin mereka tidak tahu konsep kampung wisata yang Dona maksud,” kata perempuan berdarah Ambon-Jawa ini.

Setelah terus menerus meyakinkan warga, akhirnya mereka luluh. Dona bergerak cepat, perempuan kelahiran Purbalingga, 28 Juni 1989 ini  bersama rekan-rekannya membentuk Kelompok Sadar Wisata untuk menggarap kampung warna tersebut.

Sepanjang bulan Agustus mereka mengecat rumah-rumah setiap hari. Kala itu, para pemuda berharap perubahan wajah kampung ini menjadi hadiah yang manis untuk peringatah Hari Ulang Tahun ke 72 Kemerdekaan RI. Meski modalnya berasal dari berutang di kas Rukun Warga sebesar Rp 10 juta.

“Modalnya untuk mengecat dan menata kampung juga utang, kita tanda tangan di atas materai bahwa dalam waktu satu tahun harus mengembalikan,” ungkapnya.

Tak hanya menghias kampung, sampah juga dikelola oleh para pemuda. Setiap dua hari sekali, mereka bertugas menarik sampah dari rumah ke rumah.

Kini, Kampung Warna Bobotsari yang dikembangkan di wilayah RT 1, 2, dan 3, RW 8 sudah berubah. Beberapa pengunjung mulai hilir mudik mengabadikan kunjungannya dengan gawai lalu mengunggahnya ke media sosial. Pola ini, diyakini Dona menjadi titik balik kehidupan masyarakat sekitar.

Saat ini tersedia tiga zona yang bisa dieksplorasi pengunjung di kampung itu, yakni zona pola warna, zona lorong warna, dan zona lukisan 3D.

Tidak hanya sampai di situ, Dona yang merupakan lulusan Akademi Kebidanan YLPP Purwokerto ini harus ikhlas melepas pekerjaannya sebagai bidan di Puskesmas setempat. Dia mengaku ingin fokus menggarap Kampung Warna Bobotsari.

“Saat ini ingin fokus ke kampung dulu,” pungkasnya.

Tinggalkan Balasan