Tolak Kompensasi Murah, Petani Bantarsari Gelar Aksi Teatrikal Penguburan Mayat

Peristiwa219 Dilihat
Aksi teatrikal penguburan mayat yang dilakukan oleh ratusan petani Desa Bantarsari, Kecamatan Bantarsari, Cilacap, menuntut kompensasi layak atas tanah garapan warga setempat yang diuruk untuk perluasan Puskesmas Bantarsari, Senin (25/9). (RS/Purwokertokita.com)

Purwokertokita.com – Sesosok mayat yang terbuat dari jerami yang terbungkus kain mori dikubur di area yang telah diuruk di Puskemas Bantarsari. Kejadian ini merupakan aksi teatrikal yang dilakukan oleh ratusan petani Desa Bantarsari, Kecamatan Bantarsari, Cilacap, yang menuntut kompensasi layak atas tanah garapan warga setempat yang diuruk untuk perluasan Puskesmas Bantarsari, seluas 80 ubin, Senin (25/9).

Petani juga memberikan puluhan ikat sayur kangkung kepada pejabat Kecamatan Bantarsari dan aparat kepolisian. “Aksi penguburan mayat sebagai simbol bahwa keadilan untuk petani sudah mati,” kata Koordinator Aksi, Rajiman, dalam orasinya.

Pembagian sayur kangkung, melambangkan bahwa tanah garapan mereka yang kini diuruk untuk pembangunan Puskesmas adalah satu-satunya lahan dimana mereka bisa bertani.

“Ada petani yang hanya memiliki tanah ini. Tanah ini hanya satu-satunya yang dimilikinya. Rumahnya hampir roboh. Bolong di sana-sini,” ujarnya.

Menurut Rajiman, petani hanya meminta agar Pemda Cilacap memberikan kompensasi sesuai dengan yang dituntut warga, yakni Rp200 ribu per ubin. Adapun pengembang, hanya bersedia memberi ganti rugi sebesar Rp 100 ribu per ubin.

Dalam pernyataan sikapnya, Rajiman menegaskan bahwa petani menutut agar pemerintah tak asal main gusur tanpa kompensasi memadai, tidak mengkriminalisasi petani dan memnta bupati menyelesaikan sengketa tanah yang terjadi di Cilacap.

Baca juga : Gejolak Petani Mempertahankan Lahan Garapan di Bantarsari Cilacap

Rajiman menjelaskan, 80 ubin tanah tersebut dimiliki oleh lima petani, yakni Nisem, Siti Purwaningsih, Surip, Wasirah, dan Suliyo. Tanah itu merupakan warisan dari para orang tua penggarap.

Petani juga menuntut agar Pemda Cilacap segera menyelesaikan proses sertifikasi lahan yang menggantung selama 17 tahun.

“Tanah ini didapat dari warisan orang tuanya. Orang tua mereka lah yang membuka dan mengelola tanah ini sehingga bisa produktif. Tapi sekarang semua diambil,” ujarnya.

Rajiman mengemukakan, aksi damai ini adalah ungkapan kekecewaan warga yang menilai Pemda Cilacap tak berempati terhadap penderitaan petani penggarap. Dia mengaku tak mempermasalahkan nilainya. Namun, menurut dia, harus ada penghargaan terhadap petani yang telah membuka lahan dan merawat tanah itu sejak tahun 1960-an.

Dia pun khawatir, kasus yang terjadi sekarang bakal menimpa ratusan hektar tanah petani penggarap lainnya di Bantarsari. Itu sebabnya, ratusan petani, yang merupakan anggota Paguyuban Tani Sri Rejeki (PTSR) meminta agar Pemda bersikap adil dan menyelesaikan status tanah yang kini masih menggantung atau tanpa pemilik.

“Ini bisa terjadi pada petani di lahan lainnya. Terus terang, kami khawatir,” kata Rajiman.

Usai berorasi di lahan Puskesmas, ratusan petani lantas berkonvoi menuju Kantor Kecamatan Bantarsari. Di tempat ini, petani kembali menyuarakan asipirasinya. Kemudian, petani diterima oleh Camat Bantarsari, Kapolsek dan Komandan Koramil Bantarsari untuk bernegosiasi. Camat Bantarsari, Budi Narimo berjanji akan mendampingi petani menuntut kompensasi yang memadai. Ia pun mengaku siap menyampaikan permintaan petani itu kepada pengembang dan Pemda Cilacap.

“Saya akan menyampaikan aspirasi Panjenengan semua. Tetapi, pahami lah, bahwa saya bukan lah yang bisa mengambil keputusan,” kata Budi. (RS)

Tinggalkan Balasan