
Purwokertokita.com – Pekerja Pertamina Refinery Unit (RU) IV Cilacap, Jawa Tengah yang tergabung dalam Serikat Pekerja Pertamina Patra (SPP PW) Wijayakusuma menilai penadatanganan Joint Venture Development Program (JV-DP) Proyek Refinery Development Master Plan (RDMP) Cilacap, antara Pertamina dengan Perusahaan asing Aramco menciderai dan bertolak belakang dengan semangat para pendiri Pertamina yang meninginkan perusahaan tersebut mengelola kekayaan sumberdaya alam Indonesia secara mandiri.
“Jadi kalau sikap SP jelas, bahwa kita menolak Joint Venture dengan Aramco. Masalah RDMP-nya, kita sepakat bahwa RDMP harus dilakukan. Semua pekerja support dan mendukung RDMP harus dikerjakan. Cuma 100 persen harus dilakukan oleh Pertamina, tidak perlu dilakukan joint venture dengan Aramco. Menurut kami, dan beberapa informasi yang kami terima dari Jakarta, jadi ini masih ada peluang untuk dibatalkan,” jelas Ketua SPPPW Cilacap, Eko Sunarno, Sabtu (24/12/2016)
Eko mengatakan Penandatangan JV-DA RDMP tersebut sebagai bentuk dimulainya proses unbundling dan bertentangan dengan prinsip bisnis migas yang harus mengutamakan prinsip-prinsip nasionalisme dengan tujuan memperkuat kedaulatan energi nasional.
“Dan Pertamina semestinya menjadi satu-satunya perusahaan Migas nasional yang berhak dan bertanggungjawab untuk mengelola bisnis migas tersebut,” tegas Eko Sunarno, saat dihubungi lewat sambungan telepon, Sabtu (24/12).
Eko menjelaskan, skema RDMP yang menggunakan mekanisme Joint Venture (JV) dengan pembagian share 55 persen Pertamina dan 45 Aramco telah mencidaerai dan bertolak belakang dengan semangat founding father PErtamina yang telaah bersusah payah berhasil mengakuisisi perusahaan asing yang sebelumnya beroperasi di Indonesia. “Kami kecewa dan prihatin atas penandatanganan JV-DP RDMP Cilacap tersebut,” tukasnya.
Eko memaparkan, akibat pendatanganan JVDP tersebut, maka aset Kilang Pertamina Ru IV Cilacap yang telah dikembangkan dengan adanya RFCC dan PLBC, sehingga memberikan peningkatan margin dan eviden untuk negara akan terlikuidasi da tergadaikan.
“Kilang RU IV Cilacap tidak murni lagi dimiliki oleh Pertamina, melainkan juga dimiliki juga oleh Aramco. Dan itu berlaku seumur kilang,” jelasnya.
Kemudian, kata dia, entitas Pertamina sebagai perusahaan milik negara hilang dan berganti menjadi Pertamina-Aramco. “Dan ini berakibat pada hilangnya kemandirian Pertamina sebagai BUMN terkait pengelolaan ketersediaan BBM untuk masyarakat sebagai penugasan negara,” ujarnya.
SPPPW juga menilai adanya campur tangan perusahaan Aramco merepresentasikan kepentingan asing dalam pengelolaan perusahaan milik negara yang mempunyai peran strategis terhadap kemandirian serta pemenuhan kebutuhan Bahan Bakar Minyak (BBM) di Indonesia. “Kami juga belum melihat upaya maksimal dari direksi untuk mendapatkan dana sebagai sumber pembiayaan proyek RDMP sehingga kepemilikan tetap 100 persen nasional,” imbuhnya.
Hal ini dinilai tidak sesuai dengan prinsip-prinsip nasionalisme yang bertujuan memperkuat kedaulatan energi nasioonal melalui Pertamina sebagai satu-satunya perusahaan Migas Nasional. “Kami nyatakan secara tegas mendukung dan menginginkan proyek RDMP dikelola 100 persen oleh Pertamina dan menyatakan kecewa serta prihatin dengan penadatanganan JV-DP RDMP dengan Aramco,” tegasnya
Eko menambahkan, SPPW Cilacap menyerukan agar seluruh serikat pekerja di Indonesia dan Federasi Pekerja Pertamina pusat untuk mendorong supaya pemerintah membatalkan JV RDMP antara Pertamina dengan Aramco.