Purwokertokita.com – Puluhan jurnalis Purwokerto menggelar aksi mengecam kekerasan yang terjadi terhadap pewarta di Medan, Sumatera Utara serta Rembang, Jawa Tengah. Kekerasan yang terjadi terhadap jurnalis tersebut dilakukan oleh institusi negara serta unsur perusahaan.
Dalam aksi yang berlangsung pada Senin (22/8), puluhan jurnalis melakukan aksi jalan kaki menuju perempatan Sri Ratu di Jalan Jenderal Soedirman, Purwokerto. Massa yang tergabung dalam Forum Lintas Jurnalis (FLJ) Banyumas Raya ini mengawali aksi dari Balai Wartawan sekitar pukul 13.30 WIB. Dalam aksi tersebut, massa membaw poster yang berisikan pengecaman terhadap aksi premanisme kepada jurnalis saat bekerja.
Poster tersebut bertuliskan, “Tolak Kekerasan Terhadap Jurnalis”, “Lawan Arogansi Aparat”, “Jurnalis Bekerja Dilindungi Undang-Undang” dan beberapa poster lainnya dibawa massa aksi. Koordinator aksi, Obi Suharjono mengemukakan aksi ini dilatarbelakangi adanya tindakan kekerasan terhadap jurnalis yang tidak dibenarkan undang-undang.
“Jelas ini mengancam kemerdekaan pers dan juga kebebasan berekspresi. Karena mengintimidasi dan melakukan kekerasan terhadap jurnalis saat bekerja jelas mencoreng kehidupan demokratis yang sudah terbangun selama ini,” ujarnya.
Ia mengemukakan, kasus yang parah terjadi di Medan Sumatera Utara. Saat itu, dua jurnalis dari media nasional dan televisi mendapat perlakuan kekerasan hingga mengalami luka serius hingga saat ini. Tak hanya terhadap dua jurnalis, intimidasi yang dilakukan prajurit TNI AU dari pangkalan Soewondo, juga terjadi peliput lainnya. “Seharusnya sebagai simbol pertahanan negara, tidak dibenarkan adanya tindakan yang menunjukan arogansi tersebut,” ucapnya.
Selain itu, Obi mengemukakan kasus terakhir terjadi di Rembang yang dilakukan karyawan perusahaan PLTU Sluke. Dalam kejadian tersebut, aksi premanisme kepada jurnalis dipertontonkan dengan merampas alat kerja pencari berita. “Ini jelas sekali melanggar UU Pers Nomor 40 Tahun 1999 pasal 4 yang menjamin kebebasan mendapat informasi dan kemerdekaa pers,” ucapnya.
Mirisnya, lanjut Obi, kedua insiden tersebut terjadi di bulan perayaan Kemerdekaan Republik Indonesia yang ke-71. Bahkan, tak berselang jauh dengan puncak hari proklamasi. “Ini sungguh miris, karena di bulan yang seharusnya dianggap sakral bagi rakyat Indonesia, justru dicoreng oleh perilaku buruk aparat dan perusahaan. Sesungguhnya, ini menunjukan sekaligus bahwa Jurnalis belum merdeka,” ucapnya.
Untuk itu, ia menyampaikan penyikapan agr pelaku tindak kekerasan terhadap jurnalis harus diusut dan diproses sesuai dengan hukum yang berlaku. Kemudian, Obi meminta kepada semua pihak menghargai kebebasan pers yang selama ini dijamin undang-undang.
Sementara itu, Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Purwokerto, Aris Andrianto mengemukakan saat ini tindak kekerasan terhadap jurnalis cukup memprihatinkan. “Sejak 10 tahun terakhir, AJI mencatat ada 511 kasus kekerasan terhadap jurnalis. Yang paling tinggi kekerasan berupa fisik yang dilakukan oleh massa dan kedua dilakukan oleh aparat negara,” ucapnya.
AJI Kota Purwokerto, jelas Aris, mendukung sikap yang dilakukan oleh para korban kekerasan di Sumatera Utara untuk menolak damai yang pernah diajukan aparat. “Kami mendukung agar kasus ini diselesaikan sesuai dengan mekanisme hukum yang ada,” ucapnya.