Purwokertokita.com – Cinema Lovers Community Purbalingga, Aliansi Jurnalis Independen Kota Purwokerto dan Serikat Tani Mandiri Cilacap, membuat film tentang pembantaian massal 65. Film dibuat untuk merekam kesaksian pelaku dan korban geger politik di tahun itu.
“Rata-rata saksi yang masih hidup sudah berumur sangat tua, sehingga kalau tidak segera direkam kesaksiannya, generasi muda tidak akan pernah lagi mengetahui sejarah yang sebenarnya,” kata Direktur CLC Purbalingga, Bowo Leksono, Jumat (30/9).
Ia mengatakan, proses pengambilan gambar sudah dilakukan 16 September lalu. Saat ini sedang dalam proses editing dan diharapkan bisa ditayangkan untuk umum dalam waktu dekat.
Ia mengatakan, lokasi pembuatan film ada di Cilacap barat. Meliputi 10 kecamatan yang terdapat kuburan massal dan konflik agraria. Sebelumnya pelajar di bawah bimbingan CLC Purbalingga juga sudah membuat film tentang pasukan Tjakrabirawa. Saat ini film tersebut masuk nomine Anugrah Film Indonesia 2016.
Bowo mengatakan selain film dokumenter bertajuk konflik agraria, ada film lain yang khusus mendokumentasikan jejak eksekusi massal di kawasan tersebut. Antara lain, di Jembatan Plengkung dan Pentus, keduanya sama-sama terletak di Sungai Cikawung yang membentang mulai dari Kecamatan Cimanggu hingga Wanareja.
Kemudian, film ini juga mengabadikan sejumlah situs yang diduga kuat merupakan kuburan massal korban pembunuhan massal pasca peristiwa 1965. Antara lain situs kuburan massal Singaranting dan Hutan Kafir, Afdeling Selagedang.
Untuk memperkuat data, kata Bowo, wawancara mendalam dilakukan terhadap wakil komandan pasukan operasi gabungan, penggali makam massal, penguruk makam massal dan penduduk setempat yang bisa menggambarkan situasi saat terjadinya konflik.
Koordinator Divisi Advokasi AJI Purwokerto, Muhammad Ridlo Susanto mengatakan, AJI terlibat penggarapan film tersebut sebagai bentuk literasi sejarah. “Suara-suara yang selama ini terpinggirkan oleh kekuasaan harus dibela,” katanya.
Ia menambahkan, film mengambil latar konflik agraria yang terjadi di sekitar Pegunungan Wilis, meliputi Kecamatan Cipari, Cimanggu, Sidareja, Majenang dan Wanareja. Isu yang diangkat adalah perampasan tanah bermodus tukar guling lahan dan pengusiran paksa warga dari kampung dan lahan pertaniannya.
Film ini juga diperkuat dengan wawancara mendalam bekas pelaku, bekas tahanan politik PKI dan juga masyarakat biasa, terutama perempuan.
Ridlo menjelaskan, perampasan tanah berlatar peristiwa politik 1965 amat kental dalam film tersebut. Pemerintah, kala itu, menuduh ratusan warga yang telah mendiami sebuah kawasan selama puluhan hingga ratusan tahun dengan dalih terlibat PKI. “Padahal, sebagian besar warga buta huruf sehingga tidak tahu apa arti PKI atau organisasi underbouw-nya,” katanya.
Film Dokumenter tentang kuburan massal yang ada di Cilacap barat, dan juga soal konflik agraria yang dibuat bersama AJI Kota Purwokerto, CLC Purbalingga dan SeTAM Cilacap, adalah untuk mendokumentasikan kronologis atau latar belakang sejarah terjadinya konflik agraria yang terjadi di Cilacap.
Ketua Serikat Tani Mandiri (SeTAM), Petrus Sugeng mengatakan, dalam hitungan kasar ada sedikitnya 500 lubang untuk mengubur korban 65. “Dalam satu lubang sedikitnya ada 10 orang,” katanya.
Ia menambahkan, pembunuhan massal tersebut merupakan awal dari perampasan lahan milik warga yang sudah dihuni puluhan tahun. Hingga saat ini, mereka masih menuntut dikembalikannya tanah yang diambil paksa tersebut.
Menurut dia, sedikitnya terdapat sekira 12 ribu hektar yang disengketakan antara rakyat dengan Perhutani, TNI AD dan perusahaan swasta. Sebagian besar diantaranya konflik yang disebabkan peristiwa politik antara 1950 hingga 1965. Menurut Sugeng, delapan ribu hektar tanah rakyat di Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah dirampas oleh negara lantaran sang pemilik dianggap terlibat dalam peristiwa G30SPKI dan DI/TII.
Lahan sengketa itu, Kata Petrus, antara lain terdapat di Cimrutu Kecamatan Patimuan, Cidondong Kecamatan Bantarsari, Desa Bringkeng, Panikel dan Grugu di Kecamatan Kawunganten dan Mulyadadi Kecamatan Majenang. Selain itu masih ada lahan sengketa lain di sejumlah desa Kecamatan Cipari, Kawunganten, Gandrungmangu dan Adipala.