Purwokertokita.com – Siapa sangka, persoalan sampah mampu membuat Pemkab Purbalingga pusing tujuh keliling. Penyebabnya adalah, paska penutupan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Banjaran 28 Februari lalu, mereka belum berhasil mengoptimalkan TPA Bedagas yang sudah disiapkan.
Alhasil, sampah mulai menumpuk di Tempat Pembuangan Sementara (TPS) di beberapa sudut kota kecil ini. Sampai akhirnya, Bupati Purbalingga, Tasdi menginstruksikan membuat lubang di lingkungan kantor dinas.
Jauh sebelum kejadian ini, ada tiga pendekar asal Purbalingga yang menyatakan perang dengan sampah. Mereka memilah dan menyulap sampah menjadi barang berharga dengan caranya masing-masing.
Hartoyo Karsin Pembuat Paving Block Sampah Plastik
Pria asal Desa Jetis, Kecamatan Kemangkon ini sudah menjadi pemburu sampah plastik sejak tahun 2003. Idenya sederhana, yaitu mengolah sampah plastik yang berasal dari sampah rumah tangga di lingkungan desanya menjadi paving block.
Awalnya, lelaki berusia 51 tahun ini memilah sampah plastik kering dan basah, kemudian dimasak dengan tungku. Sampah plastik yang sudah meleleh kemudian dicetak dan dipres, lalu didinginkan menggunakan air.
Lantaran aktivitasnya itu, Karsin sempat dicap sebagai orang gila.
Setelah berhasil mencetak paving, Karsin mengajak tetangganya untuk ikut berperan dalam pengelolaan sampah di sekitar desa. Setiap rumah tangga diberi satu kantong besar sebagai tempat mengumpulkan sampah plastik. Selama sepekan, pria ini mengumpulkan satu kwintal sampah plastik.
Kini, Karsin bisa memproduksi satu meter paving plastik, atau sama dengan 28 buah paving setiap hari. Paving miliknya dihargai Rp 3.500 per biji dan sudah dikirim ke luar Pulau Jawa.
Baca : Kreatif, Karsin Sulap Sampah Plastik Menjadi Paving Block
Roro Hendarti Penggagas Limbah Pustaka
Pegiat literasi asal Desa Muntang, Kecamatan Kemangkon ini memadukan konsep bank sampah dan perpustakaan dalam “Limbah Pustaka”. Bermodal sepeda motor roda tiga yang dimodifikasi, jadilah perpustakaan sekaligus bank sampah yang berkeliling ke pelosok dusun sejak 2013 lalu.
Sampah itu menjadi syarat untuk meminjam buku yang dibawa. Hingga saat ini, Roro memiliki kurang lebih 5.000 nasabah. Sampah yang terkumpul dipilah dan dibuat menjadi ekobrik atau barang kerajinan seperti meja, kursi atau apapun yang bisa dijual. Konsep ekobrik ini dilakukan dengan memisahkan sampah plastik dan dibersihkan.
Sampah plastik yang dimasukan ke dalam botol sudah bersih. Warna plastiknya harus bermacam-macam agar hasilnya menarik. Di desanya, kerajinan itu digarap bersama dengan warga. Selain itu, perempuan berjilbab ini juga membagikan ilmunya kepada pelajar.
Dona Wahyuni de Fretes Inisiator Kampung Warna Bobotsari
Bidan berparas jelita ini adalah inisiator Kampung Warna di Desa Bobotsari, Kecamatan Bobotsari. Akhir tahun lalu, Dona menggagas penggalangan sampah plastik untuk dijadikan ornamen pada titik berfoto atau spot selfie dan wefie baru yang sedang disiapkan di destinasi yang dibuka sejak Agustus 2017 itu.
Sampah seperti kantong, gelas plastik maupun benda plastik berukuran kecil lainnya dikumpulkan. Tim kreatif kampung tersebut bertugas merangkai pernak-pernik hiasan untuk melengkapi wahana yang sedang dibuat.
Baca : Berawal dari Keprihatinan, Dona Sulap Kampung Kumuh Menjadi Kampung Warna
Sebagian besar wahana di kampung itu memanfaatkan limbah plastik. Konsep daur ulang sampah ini bertujuan untuk mengurangi volume sampah di lingkungan sekitar. (NS)