Menuangkan Mitos Nogo Sui dalam Bingkai Seni Rupa 

Feature947 Dilihat
Gita Thomdean (kanan) memaparkan narasi-narasi tentang Nogo Sui pada pameran lukisan bertajuk Nogo Sui di Kie Art Project Gallery Di Desa Sidareja Kecamatan Kaligondang Purbalingga, Kamis (2/12/2021)./Foto: Rudal Afgani.

Pameran Lukisan di Kie Art Project Gallery Purbalingga

PURWOKERTOKITA.COM, PURBALINGGA – Temaram sorot lampu jatuh di wajah kanvas yang terpajang rapi di dinding. Seketika, cahaya kuning senja lampu itu melumuri perpaduan merah hijau yang tergores di atas kanvas.

Abstraksi merah hijau itu hidup dalam imajinasi setiap penikmatnya. Ada yang mewujud dalam rupa-rupa satwa. Ada pula yang menjelma keindahan bunga-bunga.

Malam di Galeri Kie Art Project tak pernah sehidup itu. Kiranya, daya hidup itu yang hendak digunakan untuk menghidupkan pesona Nogo Sui, anugerah tak ternilai untuk Purbalingga.

Nogo Sui populer di kalangan pencinta batu akik. Pada masa keemasannya, Nogo Sui adalah berkah yang tak ternilai.

Harganya melejit melampaui logam paling mulia sekalipun. Kebanggaan pemakainya tak ada habis-habisnya. Ia dipuja seantero Nusantara.

Puja-puji Nogo Sui karena ia memang punya taji. Masyur dalam literatur, Nogo Sui adalah jenis batuan istimewa.

Ia hanya ada di daerah dengan paparan sinar matahari yang berlimpah. Di Indonesia sendiri, konon hanya ada Purbalingga.

“Satu-satunya di Indonesia berada di daerah kaki gunung Slamet, gunung tertinggi di Jawa Tengah ini yang sepatutnya kita banggakan dan dapat dilestarikan,” kata Gita Thomdean, founder of Kie Art Project.

Dalam mitologi di berbagai belahan dunia, Nogo Sui punya beragam nama. Dalam bahasa latin, ia disebut Heliotrop yang tersusun dari kata “helios” yang bermakna dewa matahari dan “trope” berarti arah.

Sementara di Perancis, ia menyandang gelar Le Sang du Crist, atau darah Kristus. Semua menyimpan kisah yang berbeda.

Pada abad pertengahan, Nogo Sui telah populer di benua Eropa.
Di Benua Biru dan Timur Tengah, para tabib menggunakan Nogo Sui sebagai obat.

Batu Nogo Sui ini digiling menjadi bubuk lalu dicampur dengan madu dan telur dan diberikan kepada pasien untuk menyembuhkan tumor.

Sementara produk olahan lain berupa pasta yang terbuat dari batu darah Kristus dan madu berkhasiat menghentikan pendarahan berlebih.

“Pada masa sekarang beredarlah banyak sekali sediaan besi baik yang dikonsumsi melalui oral atau suntik,” papar Gita yang berlatar belakang sebagai seorang farmakolog dan pernah menjadi Brand Manager sediaan zat besi pertama di Indonesia dalam bentuk vial (sediaan untuk suntik /infuse).

Di Purbalingga, nama Nogo Sui juga menyimpan sejarah. Menurut cerita di Purbalingga, nama Nogo Sui berasal dari goa yang menyerupai bentuk naga (nogo dalam bahasa Jawa) di kaki gunung Slamet.

Ini menjadi inspirasi nama sebuah batu. Sementara kata Sui artinya tua, sehingga Nogo Sui bermakna Naga Tua karena memang pembentukan batu ini memerlukan waktu lebih dari 5 ribu tahun dari aliran lahar Gunung Slamet.

Mitos lainnya yang juga diuraikan dalam pameran ini adalah cerita umat Kristiani abad pertengahan yang percaya bahwa bloodstone atau Nogo Sui ini pertama kali terbentuk ketika tetesan darah Kristus jatuh di atas batu jasper selama penyaliban.

Orang-orang Kristen sering mengukir adegan penyaliban dan para martir ke dalam batu dua warna, yang menyebabkan batu itu dinamai “Batu Martir“ atau The Martyr’s stone.

Pliny, seorang penulis dari Eropa juga menuliskan cerita tentang kepercayaan orang Majusi bahwa jika membacakan mantra-mantra di atas heliotrope, maka pemakainya bisa tak tampak.

Hal ini dikuatkan buku pada abad 14 yang ditulis Boccaccio. Di antara cerita dongeng pada buku The Decameron yang dituliskannya bahwa siapapun yang menggunakan batu ini dia akan memiliki kampuan menghilang.

Apakah para leluhur bangsa Indonesia juga menggunakan batu ini sebagai jimat atau pusaka? Belum ada catatan sejarah yang membuktikannya.

Pameran Lukisan Kedua Kie Art Project

Pameran lukisan bertajuk Nogo Sui ini merupakan pameran kedua setelah Galeri Kie Art Project diresmikan Agustus yang lalu.

Pameran kali ini menampilkan belasan karya perupa senior Purbalingga, Chune Ebeg Mayong. Dia menuangkan gagasannya melalui lukisan minyak di atas kanvas. Pameran ini rencananya akan berlangsung hingga 7 Desember 2021.

“Chune merupakan seniman yang memiliki karakter kepribadian dan prinsip yang sangat kuat. Hal ini dapat terlihat juga dari goresan karyanya yang selalu identik dengan seorang Chune,” ujar Slamet Santosa, founder of Kie Art Project.

Slamet Santosa juga memaparkan dari keunikan sosok Chune yang apa adanya, akhirnya tercipta kolaborasi ini. Karyanya selalu tertampil apa adanya dan dengan imajinasi bebas seorang Chune.

“Ini merupakan cerminan penuangan dari jiwanya yang juga sama apa adanya dalam alam kesadarannya berinteraksi dengan sesama, ketika indah akan terkata indah, jika buruk akan terkata buruk,” ujar Santosa.

Santosa menilai, Chune adalah tokoh inspiratif bagi pemuda seni di desa kartun yang tengah dikelolanya.

Sementara Chune mengaku dengan pameran ini ia ingin kembali mengangkat Nogo Sui. Harapannya, Nogo Sui kembali bertaji dan memberi manfaat untuk masyarakat Purbalingga.

“Seharusnya kita bangga karena hidup di Purbalingga yang dilewati oleh sungai Klawing, tempat di mana Nogo Sui itu berada,” katanya.

Tinggalkan Balasan