Purwokertokita.com – Masa kecil Raden Soetedja memiliki kebiasaan yang cukup berisik, dia gemar memainkan peralatan batik seolah sedang menabuh alat musik. Siapa sangka, kebiasaan inilah yang membawanya menjadi komponis legendaris asal Banyumas yang menjadi pelopor musik modern di Indonesia.
Masih membekas dalam ingatan Sugeng Wiyono, keponakan Soetedja, menurut Sugeng, bakat bermusik Soetedja sudah nampak sejak diasuh oleh kakak kandung ayah Soetedja, Purwodibroto, yang bernama Sumandar. Sumandar adalah seorang pengusaha perkebunan tebu dan batik di Purworejo Klampok, Banjarnegara.
“Gedumbrengan, apa bae ditabuhi (berisik, apa saja ditabuh). Panci, wajan yang buat membatik itu dibalik dan ditabuh,” tutur Sugeng bercerita, Rabu (4/4).
Sugeng mengatakan, Sumandar sangat menyayangi Soetedja sebagai putra angkatnya. Pasalnya, Sumandar tak memiliki anak lelaki. Tingkah laku Soetedja yang berisik membuat Sumandar pusing tujuh keliling. Akhirnya, dia memutuskan membeli biola untuk sang anak ketika sedang berdagang di Eropa.
Inilah yang membuat Soetedja kecil sudah mulai memainkan alat musik legendaris buatan tangan Antonio Stradivari. Dari biola berjuluk “The Messiah” itu mengalir lagu ciptaannya yang dikenang sepanjang masa.
Pada usia 10 tahun, biola Stradivarius Paganini buatan tahun 1834 sudah akrab dengannya. Pemberian berikutnya adalah sebuah piano. Hadiah itu diberikan agar Soetedja tidak mengganggu aktivitas para perajin batik di pabrik Sumandar.
Selepas lulus dari Algemeene Middelbare School (AMS) -setingkat Sekolah Menengah Atas- di Bandung, Soetedja memilih untuk melanjutkan pendidikan di bidang musik. Sementara Sumandar, memintanya untuk meneruskan pendidikan bidang hukum atau kedokteran, seperti lazimnya anak bangsawan pada masa itu.
Tapi, rupanya Soetedja keras kepala. Dia memilih kabur dari rumahnya menuju ke Borneo, Kalimantan.
“Sumandar seperti mengancam, ‘kalau tidak mau sekolah kedokteran atau hukum, kamu pergi saja dari rumah’,” ujar Sugeng mengingat.
Menurut Sugeng, entah angin mana yang membawa Soetedja pergi menemui Sultan Hamid. Namun, selama di Kalimantan, pria kelahiran Purwokerto 15 Oktober 1909 ini mengasuh anak-anak Sultan Hamid dan melatih mereka bermain musik.
Kepergian Soetedja ke Kalimantan membuat Sumandar jatuh sakit. Soetedja kemudian dibujuk untuk pulang ke rumah oleh Sulastri, ibunda Sugeng, dengan jaminan Soetedja tetap melanjutkan studi musik di Eropa.
Saking senangnya, Sumandar mengajak putra kesayangannya itu menyusuri Sungai Serayu dengan perahu. Dia menunjukkan hamparan tebu seluas 150 hektar, dari Klampok hingga Kecamatan Somagede, Banyumas, yang kelak menjadi modal untuk biaya studi di Eropa.
“Sewaktu jalan-jalan di sungai itu, Soetedja terinspirasi untuk membuat lagu. Ada dua, ‘Sungai Serayu’ dan ‘Ditepinya Sungai Serayu’ yang lebih populer,” ujar Sugeng.
Latar belakang Soetedja yang mengenyam pendidikan pada Conservatory of Music di Kota Roma, Italia memengaruhi karakter musiknya. Komponis ini menghadirkan warna musik modern di Indonesia.
Sugeng menceritakan,beberapa musikus beken pun pernah berguru kepada Soetedja. Sugeng hanya mengingat beberapa nama mentereng, seperti Ismail Marzuki dan Bing Slamet yang menjadi vokalis pada masa itu.
Soetedja pernah menjabat sebagai Direktur Musik di RRI Purwokerto lalu pindah tugas ke RRI Jakarta. Dia juga diminta untuk menjabat Direktur Korps Musik Angkatan Udara Republik Indonesia.
Baca : Menyusuri Jejak Soetedja, Komponis Legendaris Banyumas yang Namanya Harum di Ibukota
Salah satu anaknya, Budhy Raharjo, ketika dihubungi mengatakan, karir bermusik ayahnya dilanjutkan selama tinggal di Ibukota. Setelah kantor pusat Radio Republik Indonesia dipindahkan dari Purwokerto ke Jakarta, paska pengakuan kedaulatan Republik Indonesia Serikat. Di sana, Soetedja membentuk grup musik orkes Melati. (NS/YS)