Kejayaan Lukisan Sokaraja Nyaris Tinggal Nama

Ragam300 Dilihat
Abdul Basyir (84), generasi kedua pelukis Sokaraja menunjukan salah satu lukisan hasil karyanya. (NS/Purwokertokita.com)

Purwokertokita.com – Beberapa lukisan pemandangan alam terpajang di dinding rumah yang bercat hijau, dengan suara yang bergetar, Abdul Basyir (84), menuturkan cerita di balik masing-masing lukisan hasil karya tangannya.

Abdul Basyir merupakan generasi kedua pelukis Sokaraja yang masih tersisa. Di kediamannya di sekitar Jalan Krida Mandala, Sokaraja, lukisan-lukisan karyanya menjadi saksi bisu sisa-sisa kejayaan pria dengan 10 cicit ini semasa aktif melukis.

“Ini saya buat sewaktu Gunung Merapi meletus beberapa tahun lalu. Ada orang Jogja yang meminta dibuatkan,” ujar Abdul sembari menunjuk lukisan gunung mengepulkan asap yang didominasi warna abu-abu.

Abdul melukis sejak tahun 1950an. Dia berguru kepada sosok Ismail, pelopor lukisan beraliran naturalis yang dikenal dengan sebutan Mooi Indie.

Meski tak pernah mengenyam pendidikan seni rupa, lukisan karya Abdul terasa hidup. Bahkan, dia mampu membuat lukisan tanpa melihat objek pemandangannya.

Semasa produktif melukis, Abdul bisa menghasilkan puluhan lukisan dalam waktu satu bulan. Berbekal peralatan sederhana seperti cat air dan kanvas dari bekas karung beras atau tepung yang dioles tepung kanji dia menggarap satu persatu pesanan yang datang.

“Sejak dulu harga lukisannya sangat terjangkau. Ada yang beli seharga 6 ketip (1 ketip sama dengan 10 sen). Bisa untuk beli beras seharga 2 sen di tahun 1960an,” tuturnya.

Lukisan-lukisan itu, kata dia, dibeli oleh wisatawan yang berkunjung ke Banyumas. Lantaran lukisannya laku keras, tetangganya mulai ikut-ikutan melukis pemandangan. Rata-rata didominasi suasana pegunungan, sawah, sungai yang mengalir dan beragam gambaran keindahan alam.

Semakin lama, perupa di Sokaraja semakin banyak. Masa kejayaan lukisan berlangsung sekitar tahun 1970-1980an. Atas insiatif Gubernur Jawa Tengah yang kala itu dijabat Soepardjo Rustam, para perupa ini didorong untuk mendirikan koperasi dan galeri untuk menampung lukisan.

“Setiap bulan saya dan teman-teman selalu mengirim ratusan lukisan ke Malaysia dan Singapura. Sisanya dipajang di galeri untuk para tamu yang mampir di Sokaraja,” katanya.

Hingga pertengahan tahun 80-an kejayaan lukisan Sokaraja masih terasa denyutnya. Namun, memasuki dekade 90-an jumlah seniman maupun galeri lukisan menyusut drastis gara-gara pembeli yang anjlok.

Mereka yang ngotot dengan gaya melukisnya memilih hijrah ke luar daerah menjadi pelukis jalanan atau menyewa tempat seperti di Ancol, Jakarta. Di tempat itu lukisan mereka dihargai lebih tinggi dibanding di kampung halaman.

Sedangkan mereka yang tetap bertahan di Sokaraja beralih dari lukisan kanvas menjadi pembuat latar belakang untuk studio-studio foto. Cuma segelintir yang bertahan tetap menjual lukisan.

Cerita kejayaan Abdul dan rekan perupa lainnya mulai memudar. Lukisan pemandangan tak lagi diminati, seiring bertambahnya usia mereka. Sementara harga cat air kian melambung, berbanding terbalik dengan isi kantong yang terus menyusut.

Demikian pula dengan perhatian pemerintah. Mereka tak lagi diarahkan untuk menggerakkan koperasi bagi para seniman.

“Saya titip untuk pemerintah daerah, tolonglah para seniman. Mereka juga yang membesarkan nama daerah. Paling tidak kami dibantu membeli bahan untuk melukis,” pesan Abdul yang masih menyimpan hasrat untuk melukis di usia senjanya. (NS/YS)

Tinggalkan Balasan