Purwokertokita.com – Pembubaran seminar sejarah 65 bertajuk “Pengungkapan Kebenaran Sejarah 1965/66” yang digelar Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta oleh polisi, Sabtu (16/09/2017) menuai kecaman berbagai kalangan. Satu di antaranya adalah Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia.
Ketua AJI Indonesia, Suwarjono, mengatakan, pembubaran seminar menunjukkan watak Rezim Pemerintah Joko Widodo yang sesungguhnya. Di bawah rezin Jokowi, Indonesia dinilai berada di dalam situasi darurat demokrasi.
“Tidak ada negara yang mengaku demokratis, namun alat negaranya melakukan pembubaran diskusi. Indonesia sudah masuk dalam darurat demokrasi,” kata Suwarjono, di Jakarta, Sabtu ini.
Suwarjono mengatakan, peristiwa itu pantas dikabarkan ke seluruh dunia agar seluruh elemen prodemokrasi di seluruh dunia mengetahui betapa buruk praktik demokrasi di Indonesia. Apalagi, dalam peristiwa di gedung YLBHI Jakarta itu sempat diwarnai dengan pelarangan aktivitas jurnalistik oleh polisi yang harusnya bertugas mengamankan jalannya seminar. Laporan yang masuk ke AJI Indonesia menyebutkan, belasan jurnalis yang akan meliput peristiwa itu dilarang memasuki area gedung YLBHI.
“Polisi harusnya mengetahui, aktivitas jurnalistik wartawan itu dilindungi UU Pers, penghalang-halangan aktivitas itu adalah pelanggaran hukum. Tidak ada urgensi yang membahayakan sehingga polisi harus melakukan blokade pada jurnalis yang akan meliput acara itu,” kata Suwarjono.
Represi atas kebebasan berekspresi warga, lanjut Suwarjono, adalah ancaman bagi kebebasan pers dan fungsi pers untuk mengembangkan pendapat umum. Kebebasan pers membutuhkan kebebasan warga untuk menyatakan pendapatnya kepada pers. Seperti diatur dalam UU Nomor 40 Tahun 1999, pers nasional dimandatkan untuk mengembangkan pendapat umum. Karena kondisi itu, AJI menuntut Kepolisian Republik Indonesia untuk menjamin hak setiap warga negara untuk menyatakan pendapat dan berekspresi.
Dalam catatan AJI, sepanjang 2017, polisi terlibat dalam pembubaran berbagai kegiatan masyarakat di berbagai tempat di Indonesia. Mulai pembubaran aksi lilin untuk Basuki Tjahaja Purnama, pembubaran kegiatan bernuansa agama tertentu, pembubaran aksi solidaritas untuk Papua dan aksi buruh. Hal itu seolah memperpanjang daftar aksi pelanggaran kebebasan berekspresi di tahun 2016.
Di tahun lalu, polisi membiarkan aksi kelompok intoleran di Bandung yang melarang aktivitas keagamaan. Juga pembubaran pemutaran film “Pulau Buru Tanah Air Beta” karya sutradara Rahung Nasution di berbagai tempat. Bahkan, pembacaan naskah lokakarya penulisan naskah teater Festival Teater Jakarta pada 2015, seminar empat pilar NKRI yang akan dilaksanakan komunitas Respect and Dialog di Tasikmalaya pada 21 Februari, dan pelaksanaan Festival Belok Kiri di Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta pada 27 Februari. Ketiganya dibubarkan atau dibiarkan, saat akan dibubarkan oleh kelompok intoleran.
Sementara itu, Ketua Bidang Advokasi AJI Indonesia, Iman D Nugroho menegaskan, aktivitas publik dalam bentuk diskusi, seminar dan semacamnya adalah pelaksanaan pasal 28 F UUD 1945.
Dalam pasalnya tertulis, “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosial, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.” Pasal 14 UU no 39 tahun 1999 tentang HAM pun mengatur hal yang sama.
“Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) PBB dan Kovenan Internasional tentang hak sipil dan politik pun demikian. Pelarangan mengenai hal ini adalah pelanggaran pasal-pasal itu,” kata Iman.
Untuk itu, blokade dan pembubaran acara di LBH Jakarta, tegas Iman, hendaknya dipandang sebagai pelanggaran hukum. Pihak-pihak yang melakukan blokade dan pembubaran itu, dalam hal ini polisi, harus ditangkap dan diproses acara hukum. “Harus ada kesetaraan di muka hukum. Polisi yang melakukan blokade dan pembubaran acara di LBH Jakarta harus ditangkap,” kata Iman. (dir)