Eksplorasi Turn Back Mime Sedulur Pantomim Purwokerto

Komunitas175 Dilihat
Sedulur Pantomim Purwokerto mementaskan enam repertoar dalam pertunjukan yang digelar di Auditorium Fakultas Pertanian Unsoed, Senin (2/5) malam. (Uwin Chandra/Purwokertokita.com)
Sedulur Pantomim Purwokerto mementaskan enam repertoar dalam pertunjukan yang digelar di Auditorium Fakultas Pertanian Unsoed, Senin (2/5) malam. (Uwin Chandra/Purwokertokita.com)

Purwokertokita.com – Setahun menjadi waktu yang cukup lama bagi sebagian pecinta dunia panggung pertunjukan di Purwokerto, untuk menyaksikan “Turn Back Mime” komunitas Sedulur Pantomim Purwokerto (SPP) dalam satu panggung yang sama.

Sejak terbentuk di tahun 2013 silam, komunitas yang digawangi beberapa mantan aktifis teater kampus seputaran kaki Gunung Slamet ini terus mengeksplorasi seni gerak ini.

Kali terakhir, SPP menggelar pertunjukan dengan formasi yang tak begitu lengkap. Namun, pada Senin (2/5) malam, gelaran pantomim yang digelar di Auditorium Fakultas Pertanian Universitas Jenderal Soedirman terasa begitu bergairah.

Bekerja sama dengan punggawa Bengkel Seni Pertanian (Bezper) Universitas Jenderal Soedirman, gelaran yang ditujukan untuk penggalangan dana bagi penderita kanker anak tersebut mampu menghibur penonton. Sekitar 300-an lebih penonton dari mahasiswa dan masyarakat umum tak beranjak saat enam repertoar disajikan dengan gaya khas SPP.

Beberapa naskah yang digarap pentolan SPP, Nurhendri Cadel, seolah tak bisa dilepaskan dari pertunjukan komikal. Menurut Cadel, empat karya naskahnya dihasilkan dalam jangka waktu yang cukup panjang. “Sudah ada naskahnya. Sebelum pertunjukan malam ini memang aku bikin beberapa,” ujarnya beberapa waktu lalu.

Tak heran, beberapa repertoar karyanya, seperti “Padamkan Api”, “Berisyarat Dalam Cinta”, “Merajut Asa” dan “Nostalgia” sulit dilepaskan dari gaya pantomime khas SPP. Kegelisahan hingga pengalaman hidup, (mungkin) menjadi inspirasi mahasiswa tingkat akhir kampus pertanian ini untuk menggali cerita dalam bentuk naskah.

Tengok saja, repertoar “Berisyarat Dalam Cinta”, misalnya, yang mengawali gambaran hati sang penulis naskah. Menampilkan tentang kisah percintaan yang bertepuk sebelah tangan dan tentunya gelak tawa pun membahana di dalam auditorium.

Sebagai penonton, mungkin saya akan beranggapan karya itu berasal dari pengalaman hidup Cadel dalam dunia percintaan kekinian. Tapi entahlah, karena saya merasa hidupnya Cadel tidak serumit skripsinya yang katanya belum kelar dua tahun belakangan ini.

Komikal

Meski begitu, sekali lagi, kesan komikal memang susah dilepaskan dari karya yang dibuat dedengkot SPP ini. Tak hanya Cadel, Rahmat Pawon, dedengkot SPP yang mantan lurah di teater Didik IAIN Purwokerto, pun juga menggarap satu naskah repertoar yang digarap keroyokan berjudul “Sisi Lain”.

Kisah pelajar yang berusaha untuk membahagiakan orang tua pun tampil penuh komikal. Sisi kehidupan sekolah yang ditonjolkan menjadi sorotan bagi pendidik seperti Djoni Teguh Suprijana yang ikut mengapresiasi pertunjukan tersebut.

“Sebenarnya tadi itu adegan yang di sekolah cukup menampar juga untuk pendidik. Seharusnya ini ditonton guru-guru, apalagi saat ini pas dengan hari pendidikan nasional,” ujarnya usai pementasan.

Mimer dari Sedulur Pantomim Purwokerto menampilkan repertoar dalam pertunjukan di Auditorium Fakultas Pertanian Unsoed. (Uwin Chandra/Purwokertokita.com)
Mimer dari Sedulur Pantomim Purwokerto menampilkan repertoar dalam pertunjukan di Auditorium Fakultas Pertanian Unsoed. (Uwin Chandra/Purwokertokita.com)

Selain itu, repertoar “Mejik is Magic” yang dibawakan “atlet mime” bernama samaran Bunga dan Matahari alias Bagus Wuluh dan Oki, menjadikan pertunjukan “pecah”. Lantaran, mereka berdua yang mengaku masih kakak beradik dari sperma unggulan yang sama dan lahir dari rahim yang berbeda ini tampil kompak.

Sesekali peluh dan kelelahan tergambar jelas dalam penampilan duo kawakan mantan demang Teater SiAnak Fisip Unsoed ini.“Capai banget tadi, soalnya kita juga harus terus gerak dan kadang nggak hafal juga. Udah Nyontek juga tetap nggak kelihatan tulisannya,” celetuk Oki.

Sebelum menuju repertoar terakhir, “Merajut Asa” karya Nurhendri Cadel yang penggarapan naskahnya tak jauh dari tema panggung Merajut Harapan di malam itu, tampil penuh khidmat. Aktor tunggal, Dimas Fuad, yang sempat digadang-gadang sebagai pentolan pertama SPP ini, tampil dengan beberapa ciri khas gayanya yang berbeda dari generasi tua SPP.

Kisah anak yang berjuang dalam melawan penyakit untuk menggapai cita-cita, masih tetap hadir dengan gaya komikal. “Sebenarnya kami ingin mengajak penonton untuk merasakan dan menyelami penyandang kanker anak,” kata Cadel.

Pun penampilan pamungkas pertunjukan Turn Back Mime malam itu, menampilkan repertoar “Nostalgia” yang lagi-lagi karya Cadel. Nostalgia yang menjadi repertoar dibagian akhir, menceritakan tentang nostalgia terakhir penyandang kanker jelang proses operasi.

Dalam repertoar ini, 18 mimer yang ikut mengisi repertoar keroyokan ini. Berbagai kisah, hidup yang tergambarkan dari kali pertama repertoar di awal pertunjukkan pun tampil menghias panggung auditorium.

Malam itu, pertunjukan yang berlangsung selama kurang lebih dua jam itu ditutup dengan ajakan untuk donasi bagi penderita kanker anak. Rencananya pengumpulan sumbangan tersebut akan dilakukan hingga minggu depan, sebelum diserahkan melalui Yayasan Anyo Indonesia (YAI) yang mendukung pertunjukan ini.

Tinggalkan Balasan