Ciu Banyumas yang Eksis Hingga Saat Ini (Bagian 1)

Lingkungan, Ragam1265 Dilihat
Alat penyulingan ciu. Perajin ciu, minuman keras lokal asal Desa Wlahar Kecamatan Wangon Banyumas, sedang memproses gula kelapa dan tape singkong menjadi ciu. Perajin membuatnya secara sembunyi-sembunyi agar tidak ketahuan aparat kepolisian. Harga ciu di pasaran bervariasi mulai dari Rp 15 ribu hingga Rp 40 ribu per liter, tergantung kadar alkohol yang dihasilkan. (Aris Andrianto/Purwokertokita.com)
Alat penyulingan ciu. Perajin ciu, minuman keras lokal asal Desa Wlahar Kecamatan Wangon Banyumas, sedang memproses gula kelapa dan tape singkong menjadi ciu. Perajin membuatnya secara sembunyi-sembunyi agar tidak ketahuan aparat kepolisian. Harga ciu di pasaran bervariasi mulai dari Rp 15 ribu hingga Rp 40 ribu per liter, tergantung kadar alkohol yang dihasilkan. (Aris Andrianto/Purwokertokita.com)

Purwokertokita.com – Saat pertama kali merasakan ciu, kerongkongan saya seperti terbakar. Panas dan rasanya pahit atau dalam bahasa Banyumasannya, nyegrak. Pun setelah itu, kepala cepat terasa pusing. Galak dan tanpa kompromi. Akhirnya saya pun penasaran dengan proses pembuatannya. Seperti apa sih prosesnya?

Pengalaman menenggak ciu yang agak berbeda saya dapatkan saat berkunjung ke rumah Pak Jasmin di Desa Wlahar Kecamatan Wangon Banyumas. Berbeda dengan pengalaman minum ciu untuk kali pertama (frasa bakunya memang kali pertama, bukan pertama kali, awas jangan sampai lupa loh) pengalaman minum ciu ini agak sedikit berbeda.

Saat itu Pak Jasmin menghidangkan ciu di sebuah toples. Di dalamnya ada gingseng korea yang direndam dalam air ciu. Rasanya cukup berbeda dibandingkan ciu yang tanpa campuran atau istilahnya gel-gelan. Rasanya lebih smooth. Ringan dan halus di tenggorokan. Tidak membuat pening di kepala. Saya pun tak berani minum banyak, karena pulangnya harus naik sepeda motor. Lagi pula, saya memang tidak berniat mabuk. Hanya ingin mencoba ciu, minuman keras tradisional asal Banyumas.

“Setengah gelas saja sudah cukup, tak perlu banyak-banyak,” kata Pak Jasmin saat itu.

Di hadapannya, empat pemuda menggenggam masing-masing satu gelas. Gelas itu terisi setengahnya. Sedikit ragu, empat pemuda itu menenggak ciu hingga tandas.

Ciu, minuman keras tradisional dari Banyumas selama ini dikenal sebagai suguhan bagi tetemu di Desa Wlahar. Bagi warga setempat, minuman itu merupakan jamu untuk penyehat badan. Tak jarang ditemui, penderes kelapa yang sehari-hari harus memanjat pohon kelapa, harus meminum barang segelas sebelum melakukan aktivitasnya.

Penderes nira sedang turun dari pohon kelapa setelah mendapatkan nira untuk bahan baku gula kelapa. (Aris Andrianto/Purwokertokita.com)
Penderes nira sedang turun dari pohon kelapa setelah mendapatkan nira untuk bahan baku gula kelapa. (Aris Andrianto/Purwokertokita.com)

Untuk melihat proses pembuatan minuman ini tidaklah mudah. Perajin ciu di desa itu selalu curiga jika ada orang lain datang hanya sekedar untuk melihat prosesnya. Mereka takut, usahanya itu akan diketahui polisi.

Pun ketika saya melihat dapur pembuatan ciu, perajinnya justru kabur entah kemana. Dapur itu dibiarkan begitu saja, meskipun api di tungku pembuatan masih menyala. Beruntung, saya bisa menemui salah satu perajin yang mau menerangkan cara pembuatan ciu, minuman penghangat suasana. “Kami sudah membuatnya sejak zaman Belanda,” kata Siyem, 40 tahun,sebut saja namanya seperti itu.

Ia mengatakan, perajin ciu rata-rata merupakan ibu rumah tangga. Kaum lelaki, kata dia, bertugas untuk mencari bahan baku dan menjual ciu ke beberapa tempat. Praktis, semua urusan di dapur pembuatan ciu dilakukan oleh kaum perempuan.

Dapur ciu rata-rata terletak di belakang rumah. Bangunannya setengah terbuka dengan pagar dari anyaman bambu. Di dalam dapur ada tungku untuk memasak bahan baku ciu, semacam alat destilasi. Tong besar dengan volume 130 liter digunakan untuk mencampur gula merah, tape, air dan bibit ciu.

Abas Supriyadi, Kepala Dusun 3 Desa Wlahar yang mengaku penggemar berat ciu menuturkan, ciu Banyumas hampir sama dengan ciu Bekonang di Solo. “Kadar alkoholnya bervariasi, mulai dari 20 persen hingga 70 persen,” katanya.

Ia mengatakan, setiap harinya, satu instalasi penyulingan memerlukan bahan baku 30 kilogram gula merah, 50 liter omplong semacam sisa fermentasi pada proses sebelumnya, 2 kilogram tape singkong, dan 50 liter air.

Bahan-bahan itu disimpan selama satu minggu. Adonan yang dimasukkan ke dalam tong itu, harus diaduk. Setelahnya baru masuk proses penyulingan. Adonan dimasukkan ke panci alumunium, dipanaskan tanpa boleh mendidih dengan tungku kayu, dan uap airnya disalurkan melalui pipa tembaga. Setetes demi setetes hasil penyulingan ditampung dalam toples isi 3 liter yang akan penuh setiap 4 jam.

Di pasaran, harga ciu bervariasi tergantung dari tinggi rendahnya kadar alkohol. Ciu dengan alkohol berkadar 20 persen, dijual dengan harga Rp 15 ribu. Sementara untuk ciu dengan kadar alkohol 50 persen, dijual Rp 20 ribu dan kadar 70 persen dijual Rp 35 ribu per liter.

Untuk menjualnya, mereka menggunakan sel tertutup. Hanya orang-orang tertentu saja yang bisa menjual ciu di daerah Banyumas dan daerah tetangga lainnya. Seringkali, penjual harus balik kanan tak jadi menjual ciu gara-gara takut ditangkap polisi.

Tinggalkan Balasan