Purwokertokita.com – Gedung bioskop pernah menjadi saksi bisu kejayaan film Indonesia. Di tempat itulah, rakyat kecil mencari hiburannya. Lengkap dengan cemilan kacang goreng dan gerombolan perokok berat.
“Kalau Rhoma Irama main, orang dari gunung turun semua,” kata Waris Mulyono, 52 tahun, warga Kelurahan Kutabanjar Kecamatan Banjarnegara Kabupaten Banjarnegara, Ahad (3/4).
Waris rumahnya berada di belakang Cahyana Teater, gedung bioskop yang kini sudah tutup. Lokasi Cahyana sendiri berada di Jalan Komisaris Suprapto, jalan utama kabupaten itu.
Cahyana, adalah gambaran mini bagaimana banyak gedung bioskop di Indonesia gulung tikar. Tergerus oleh semakin mudahnya orang mendapatkan keping VCD dan DVD di pasaran.
Menurut Waris, Cahyana dulunya adalah Gedung Ketoprak Sidoagung. Siring semakin surutnya tontonan rakyat itu, pemilik gedung yang bernama Cuk Yan mengubah gedung pertunjukan ketoprak itu menjadi gedung bioskop. “Dibangun tahun 1972, bioskop ini menjadi satu-satunya di Kota Banjarnegara,” katanya.
Bioskop ini hanya mempunyai satu ruangan. Kapasitasnya bisa mencapai 400 tempat duduk. Kalau lagi ramai, penonton berdiri dan sanggup menampung 800 orang. Penonton di depan membawa tikar untuk lesehan.
Meski hanya satu ruangan, ada tiga kelas dalam bioskop ini. Kelas pertama berada di paling belakang, kelas kedua di tengah dan terakhir, kelas ketiga di depan layar. “Sekatnya hanya dari papan triplek,” ujarnya.
Kursi yang digunakan pun tak senyaman kursi bioskop zaman sekarang. Kursinya menggunakan kursi seng yang biasa digunakan untuk hajatan.
Saat itu, kata Waris, harga tiketnya masih sangat murah. Setidaknya untuk ukuran zaman sekarang. Tahun 1972, harga tiket untuk kelas 1 hingga kelas 3 tiket dijual berturut-turut, Rp 10, Rp 15 dan Rp 25.
Tahun 1980-an, harga tiket dinaikan menjadi Rp 50, Rp 100 dan Rp 150. Sedangkan di tahun 1990-an hingga bioskop ini tutup, harga tiketnya mulai Rp 300, Rp 500 dan Rp 750. “Kalau saya sering dapat tiket gratis karena rumahnya di belakang bisokop,” ujar Waris tertawa.