Dosen Unsoed Ini Menemukan Bakteri Pengurai Limbah Minyak

Lingkungan, Ragam144 Dilihat
Agung Damasyakti, penemu bakteri pengurai limbah minyak (istimewa)
Agung Damasyakti, penemu bakteri pengurai limbah minyak (istimewa)

Purwokertokita.com – Unsoed seperti tak pernah kehabisan orang untuk berprestasi. Salah satunya adalah Agung Dhamar Syakti, penemu bakteri pengurai limbah minyak di perairan Nusakambangan. Melalui ketekunannya, kini limbah minyak bisa diurai dengan cara yang lebih ramah lingkungan.

Agung Dhamar Syakti, Staf Pengajar Program Sarjana Perikanan dan Kelautan Fakultas Sains dan Teknik Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto, mengamini adanya pencemaran akibat limbah minyak itu. “Semua industri pertambangan termasuk minyak, berpotensi mencemari lingkungan,” kata Agung yang juga peneliti tamu di Universitas Aix Marseille, Perancis.

Menurutnya, pengolahan limbah yang dilakukan industri perminyakan selama ini cukup mahal dan memakan waktu. Ia pernah melakukan penelitian dengan tehnik bioremediasi. Tehnik ini dikenal ramah lingkungan dan berbiaya murah karena menggunakan bakteri yang ada di alam.

Menurutnya, bioremediasi merupakan alternatif pengolahan dan penguraian limbah minyak yang bisa diterapkan di Indonesia. Agung sendiri mencoba menemukan bakteri yang bisa mendukung teorinya itu di Sungai Donan, tempat dimana limbah Pertamina Cilacap dibuang setelah diolah.

Ia mengatakan, upaya pencarian strain-strain bakteri yang memiliki kemampuan menggunakan unsur karbon dalam senyawa hidrokarbon bukanlah hal yang baru. Namun, kata dia, sudah menjadi tangung jawabnya sebagai ilmuwan yang menggeluti bidang bioteknologi lingkungan untuk dapat menjawab kebutuhan dari suatu problematika di lapangan. “Saya memahami bahwa kegiatan industri berpotensi mengkontaminasi lingkungan, secara spesifik industri minyak dan gas jika dikaitkan dengan pencemaran minyak bumi,” katanya.

Ia berhasil mengembangbiakan (culture) puluhan mikroorganisme baik itu bakteri ataupun jamur mikroskopis. Dari pengembangbiakan itu, ia hanya memfokuskan untuk mengisolasi bakteri yang memiliki potensi untuk tumbuh berkembang dan mendegradasi beberapa senyawa aromatik seperti phenanthrene, dibenzothiophene, fluorene, fluoranthene dan pyrenne yang merupakan bagian dari minyak bumi yang memiliki sifat carcinogenic (agent kanker ) serta mutagenic (agent mutasi genetik).

Agung mulai melakukan penelitian sejak tahun 2006. Saat itu, ia mendapatkan grant riset dari International Foundation for Sciences dari Swedia untuk riset tentang biodegradasi senyawa poliaromatik hidrokarbon di zone mangrove. Ia melakukan penelitian di Segara Anakan Cilacap yang berbatasan dengan Nusakambangan.

Menurutnya, Segara Anakan merupakan Ekosistem Bakau terbesar di Pulau Jawa. Artinya, kata dia, keberadaan Segara Anakan memiliki nilai sangat penting secara ekologis, ekonomis dan sosial-budaya.

Sayangnya, imbuh dia, saat ini kondisi hutan mangrove di Segara Anakan terdegradasi oleh tekanan anthrophogenic (kegiatan manusia) yang tentunya harus mendapat perhatian bersama baik masyarakat, industri dan pemerintah serta akademisi. Menurutnya, kondisi Segara Anakan hampir mirip dengan Dumai, Delta Mahakam dan lain sebagainya.

Agung menambahkan, penelitian itu merupakan kerjasama riset Universitas Jenderal Soedirman, Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan-IPB, LIPI, dan Universitas Aix Marseille-Perancis. Penelitian itu sendiri menghabiskan dana sekitar 12 ribu dolar yang diberikan oleh International Foundation for Sciences dari Swedia untuk riset tentang biodegradasi senyawa poliaromatik hidrokarbon di zone mangrove. Tahun ini Universitas Jenderal Soedirman juga mendapatkan Grant dari DIKTI untuk riset kerjasama Internasional senilai kurang lebih 200 juta per tahun selama tiga tahun.

Penelitian dilakukan secara bertahap. Tahun pertama bertujuan mengidentifikasi status ekologis Segara Anakan dari aspek pencemarannya. Ada dua pencemar yang dibidiknya. Pertama yakni Persistence Organic Pollutants (pencemar organik dengan ketetaptinggalan yang tinggi) seperti poliaromatik hidrokarbon (Poly Aromatic Hydrocarbons), PCBs (poly chlorinated byphenyl), pestisida organoklor da lain lain. Sementara pencemar yang kedua yakni, Emerging Pollutants, artinya jenis senyawa senyawa yang baru diklasifikasikan kedalam jenis pencemar yang membahayakan kesehatan lingkungan dan masyarakat dan belum memiliki regulasi standar baku mutunya di lingkungan. “Contoh senyawa senyawa tersebut adalah, obat obatan (paracetamol, dichlofenac, carbamazepine, sulfaméthoxazole) dan produk metabolitnya serta detergent alkylbenzenesulfonates dan alkylphénols polyethoxylates),” katanya.

Untuk menemukan contoh bakteri yang bisa mengurai limbah minyak, Agung harus mengaduk-aduk dasar sungai. Tujuannya untuk mengambil contoh sedimen dan air dari tiga sungai yakni Donan, Cinatduy, dan Cibeureum.

Ketiga sungai yang bernmuara di Segara Anakan tersebut berpotensi membawa senyawa pestisida dari lahan pertanian serta limbah industri ke Segara Anakan via sungai, kemudian di bagian Segara Anakan sendiri dari barat ke timur serta beberapa titik diluar Nusa Kambangan yang mewakili kontribusi samudra ke Segara Anakan.

Selama penelitian itu, mereka membuka base camp di sekitar lokasi. Pembuatan base camp dilakukan untuk penanganan awal sampel terutama air untuk keperluan analisa sehingga tidak membutuhkan sampel air yang banyak. Penelitian itu juga dibantu mahasiswa pascasarjana Universitas Jenderal Soedirman dan Institut Pertanian Bogor.

Untuk penelitian itu, kata Agung, tidak membutuhkan peralatan yang rumit. Sederhana saja. Untuk sampel air mereka menggunakan filter yang berukuran 0.45 µm. Air tersebut kemudian dialirkan untuk diambil satu liter melalui kolom kromatografi (solid phase extraction; SPE) jenis tertentu misalnya Oasis, Envi-Carb (tergantung senyawa target yang akan analisa).

Setelah itu, air tersebut baru diuji di laboratorium. Di laboratorium senyawa senyawa yang terjebak didalam kolom SPE akan mereka elusi (keluarkan) dan siap dianalisa dengan instrument analitik seperti HPLC-MS dan GC-MS.

Dari hasil pengambilan sampel di Segara Anakan, mereka mendapatkan enam strain bakteri. Dengan pendekatan biologi molekular (16S rDNA) mereka mengidentifikasi enam strain dengan tingkat kemiripan lebih dari 98 persen. Enam starin tersebut bernama Bacillus aquimaris, Bacillus megaterium, Bacillus pumilis, Flexibactereae bacterium, Halobacilus trueperi, dan Rhodobacteraceae bacterium.

Ukurannya pasti mikroskopis, ukuran dan bentuk tidak menjadi prioritas mereka dalam penelitian akan tetapi secara umum ukurannya antara 0.5 – 2.5 µm dan berbentuk batang. Kenapa hanya enam? Menurutnya, dengan menggunakan tehnik sublimasi hanya enam strain tersebut yang mampu hidup dengan subtrat (pollutant) yang spesifik yakni hidup dengan limbah minyak.

Agung menambahkan, dalam ujicoba di laboratorium, keenam bakteri memiliki potensi mengurai pencemar hidrokarbon sebanyak lebih dari 90 persen selama antara 28-56 hari. “Tapi ini di laboratorium dimana kondsisinya dapat kita setting optimal untuk pertumbuhan mikroorganismenya,” kata dia.

Di alam, imbuhnya, banyak faktor lain yang dapat menentukan. Namun, hal itu bisa direkayasa baik secara feeding (biosimulation; dengan pemberian nutrisi optimal) ataupun seeding (bioaugmentation; penambahan mikroba yang sudah diisolasi dan diuji kemampuan biodegradasinya, seperti 6 strain yang ditemukan). Selain itu bisa juga menggunakan tehnik enginering design yang memanfaatkan kondisi lapang seperti sinar matahari, angin, hujan kemiringan lahan pengolahan dan sebagainya. “Yang pasti kombinasi kesemua tehnik (multi-process remediation) akan diperlukan guna keberhasilan teknologi ini,” katanya.

Untuk mengurai limbah minyak, ia mengatakan dibutuhkan sekitar paling tidak 1-100 juta sel bakteri diperlukan untuk mengurai 1 kilogram limbah padat yang mengandung 100-150 gram hidrokarbon selama 1 sampai 8 bulan tergantung komposisi kimiawi dari hidrokarbon dan jenis bakteri yang tersedia serta parameter pendukung lainnya.

Sementara untuk rekayasa genetika, Agung dengan pasti menjawab, bisa. Hanya saja ia mengaku belum memiliki kompetensi dalam bidang rekayasa genetic. Laboratorium Unsoed, kata dia, sudah dilengkapi laboratorium untuk rekayasa genetik akan tetapi lebih difokuskan untuk applikasi pertanian.

Menurutnya, saat ini penerimaan publik akan rekayasa genetika untuk aplikasi bioteknologi lingkungan juga masih rendah. Selain itu, meskipun belum menjadi prioritasnya, suatu hari nanti ia akan mempelajarinya, karena kompetensinya akan benar benar diperlukan beberapa tahun mendatang.

Agung menambahkan, bakteri juga bisa digunakan untuk mengurai sampah. Menurutnya, kalau tidak ada hidrokarbon, strain bakteri yang ia temukan akan lebih senang jika ditugaskan untuk mengurai sampah organik yang tidak bersifat toksik. Proses kerjanya juga dinilai tidak akan memakan waktu lama seperti mengurai limbah minyak. Komposting adalah prinsip yang juga dapat diterapkan dalam bioremediasi. Ketka hasil penguraian berakhir sempurna atau yang kita sebut mineralisasi, produk akhirnya adalah gas karbon dioksida (CO2 ) dan air (H2O).

Tehnik ini, bioremediasi, berkembang sejak tahun 1948 di Eropa sementara di Indonesia perkembangannya diawali pada akhir dekade 90- an. Tingkat kesuksesan tentunya bervariasi tergantung target polutant dan metode aplikasi bioremediasi.

Terkait kerjasama dalam bidang bioremediasi dengan Universitas Paul Cezanne Aix Marseille, Agung mengatakan, kerjasama itu dimulai sejak tahun 2000 ketika ia sedang melangsungkan program PhD-nya. Saat bersamaan, ia diundang oleh Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan- Institut Pertanian Bogor (PKSPL-IPB) untuk menjadi salah satu peneliti senior dalam beberapa project bioremediasi yang dikelola oleh PKSPL-IPB. Ia mencontohkan, antara tahun 2006-2009, ia menjadi principal investigator untuk pekerjaan bioremediasi kerjasama ExxonMobil OIl di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. “Bentuk kerjasama ynag diberikan Universitas Aix Marseille adalah dalam bentuk dukungan expertises dan analisis laboratorium,” katanya.

Sementara untuk Pertamina, Agung mengaku sudah menawarkan tehnik ini ke Pertamina. Ia mengaku sudah menawarkan ke Pertamina Balongan, Babelan dan Pertamina Cilacap saat masih aktf di PKSPL-IPB. “Namun belum mencapai kata sepakat sepertinya baik secara teknis ataupun biaya.,” ujarnya.

Ia berharap, Pertamina Cilacap bisa menggandeng kegiatan civitas akademika UNSOED yang diberikan terutama dalam bentuk kegiatan magang mahasiswa dan pelibatan dalam skema Coorporate Social Responsabiliy seperti kegiatan penanaman mangrove dan rehabilitasi lingkungan.

Ia juga berharap, UNSOED dengan Pertamina UP IV Cilacap lebih berbasis kepada riset sehingga akan dapat menyerap keterlibatan mahasiswa masisiswa UNSOED yang akan bermuara kepada keragaman hasil temuan dan invensi yang berguna bagi kemaslahatan manusia dan lingkungannya. “saya bersama mahasiswa Unsoed juga sedang berupaya mencari grant riset untuk beberapa topik menarik yang diusulkan adik adik mahasiswa S2 Ilmu Lingkungan UNSOED seperti biodegradasi plastik, mikroencapsulation biosurfactant, penelitian tentang logam berat di Segara Anakan dan lain sebagainya. Tentunya jika Pertamina ataupun lembaga lain berminat UNSOED siap memberdayakan potensi sumberdaya manusianya,” imbuhnya.

Soal adanya limbah minyak juga dibenarkan oleh Untung Wijayanto, warga Cilacap. Ia masih ingat betul kenangan sore itu di penghujung tahun 1972. Sore itu, sekitar pukul 15.00, ia bersama ayahnya mendayung sampan hendak menangkap ikan. Tujuannya satu, muara Sungai Donan Cilacap.

Di musim angin timur itu, ia dan nelayan lainnya tak bisa melaut hingga ke tengah samudera. Gelombang tinggi membuat sampan tanpa penggerak motor tak mampu pergi ke tengah. Sampan ia kemudikan hanya di daerah muara sungai dan Laguna Segara Anakan.

Laguna itu sendiri merupakan muara berbagai sungai seperti Citanduy, Donan, dan beberapa sungai kecil lainnya. Di muara itu, banyak sekali ikan yang bisa ditangkap nelayan. “Sehari bisa mendapat 5-7 kuintal, meskipun menggunakan sampan,” ujar Untung.

Untung mengatakan, Sungai Donan waktu itu terkenal dengan ikan Blamah yang berwarna putih kekuningan. Selain itu, ia juga biasa menangkap ikan Kakap Putih.

Bantaran sungai yang masih ijo royo-royo juga membuat kegiatan menangkap ikan semakin mengasyikan. Sungai yang bening dengan hamparan hutan mangrove, membuat ikan betah tinggal di sana.

Namun, sejak tahun 1975, atau setelah pembangunan Kilang Pertamina Cilacap dan industri lainnya, Ikan Blamah mulai menghilang. “Sekarang bahkan sudah tak ada lagi,” ujarnya.

Ia menduga, hilangnya ikan disebabkan air sungai yang tidak jernih lagi. Limbah kilang yang dibuang ke sungai itu membuat ikan mati.

Pejabat Pertamina, Ruseno saat dikonfirmasi mengatakan, sejauh ini pihaknya belum diajak berkomunikasi dengan peneliti Unsoed. “Saya tidak tahu ada penelitian itu. Belum ada komunikasi dengan kami,” katanya.

Ia mengatakan, selama ini pengolahan limbah minyak Pertamina sudah sesuai dengan standar ISO. Menurutnya, selama ini Pertamina Cilacap tidak pernah ada masalah dengan pencemaran lingkungan.

Jika ada penelitian, kata dia, hal itu sudah berada di luar kendali mereka. Ruseno menambahkan, pengawasan ketat selalu dilakukan setiap hari terkait pembuangan limbah ke perairan Cilacap.

Ia sendiri mengaku sangat terbuka jika penelitian itu bisa digunakan oleh Pertamina. “Kalau kami ditawari, akan kami sambut dengan tangan terbuka,” imbuhnya.

Tinggalkan Balasan