Miris, Hanya Ada 40 Serikat Pekerja Media di Indonesia

Peristiwa283 Dilihat
Anggota AJI Purwokerto menggelar aksi peringatan Hari Buruh, beberapa waktu lalu. (Purwokertokita.com)
Anggota AJI Purwokerto menggelar aksi peringatan Hari Buruh, beberapa waktu lalu.
(Purwokertokita.com)

Purwokertokita.com – Meski bisnis perusahaan media terus berkembang di Indonesia, namun keberadaan pekerja media masih dipandang sebelah mata. Persoalan tersebut tergambar dari hasil survei yang dilakukan Forum Serikat Pekerja Media (FSPM) Independen yang menyebutkan dari sekitar 2 ribuan perusahaan media, tercatat hanya ada 40 serikat pekerja.

“Dari 40 serikat pekerja media yang ada di perusahaan media, hanya 24 serikat pekerja media yang aktif,” kata Peneliti Ketenagakerjaan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, Aloysius Budi Kurniawan saat Focus Gorup Discussion (FGD) mengenai Serikat Pekerja Media dan Nasib Kontributor: Pemetaan dan Rekomendasi Aksi di Solo, beberapa waktu lalu.

Aloysius Kurniawan mengemukakan dalam penelitian dengan sampel 19 serikat pekerja di seluruh Indonesia, rata-rata semua serikat pekerja yang terbentuk belum berjalan sesuai dengan fungsinya. Bahkan, masih banyak yang tidak memiliki ruang sekretariat, kartu anggota dan agenda rutin.

“Serikat pekerja yang kami jadikan sampel antara lain Serikat Karyawan ANTV, Serikat Pekerja MNC TV, Kerukunan Warga Karyawan (KWK) Bisnis Indonesia, Perkumpulan Karyawan Kompas (PKK), Ikaso Solopos, SP Ikaso FM, dan lainnya,” katanya, seperti yang dilansir Solopos.com.

Ia mengatakan serikat pekerja ssebenarnya, sudah banyak kasus yang diselesaikan melalui serikat pekerja. Ia menyampaikan, jika dalam perusahaan tidak ada serikat pekerja, nantinya akan mempersulit karyawan saat terjerat masalah dengan pihak manajemen. “Jadi serikat pekerja media jangan hanya dipandang selalu berhadap-hadapan dengan manajemen saja. Karena banyak kegiatan yang bisa dilakukan untuk memperkuat serikat pekerja,” katanya.

Sementara itu, Ketua AJI Indonesia, Suwarjono, menyoroti banyaknya jurnalis berstatus kontributor yang sebenarnya perlu dibentuk serikat pekerja. Masalah ketenagakerjaan bagi kontributor, menurutnya, sangat pelik dan banyak. Ia mencontohkan, persoalan ketidakjelasan kontrak kerja, minimnya kesejahteraan sosial, dan lainnya.

Dia melanjutkan, selama ini jurnalis yang berstatus kontributor paling banyak bekerja di media televisi, kemudian media online, dan sebagian media cetak. Namun, ia mengemukakan, tidak semua kontributor berharap diakui perusahaan media tempat mereka berkerja.

“Misalnya soal honor, dari dulu sampai sekarang honor bagi kontributor tidak ada kenaikan. Ternyata yang terjadi banyak kontributor enggan ketika diminta untuk menjadi karyawan tetap. Bahkan sebagian besar, ada yang beranggapan ketika menjadi karyawan tetap justru akan mengurangi pendapatan,” katanya.

Uwin Chandra

Tinggalkan Balasan