Purwokertokita.com – Tekanan dan ancaman yang dihadapi untuk membuat serikat pekerja di dalam perusahaan media, hingga saat ini masih menjadi persoalan serius. Dalam beberapa kasus yang muncul, usaha untuk mendirikan serikat pekerja dalam perusahaan media kerap terganjal hingga berakibat tidak mampunya awak media memperjuangkan hak-haknya.
Pemaparan tersebut mengemuka dalam Workshop Pengorganisasian dan Kepemimpinan Serikat Pekerja yang digelar Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Solo bersama dengan Federasi Serikat Pekerja Media (FSPM) Independen dan FNV di Solo, Jawa Tengah. Dalam agenda yang dihadiri pekerja media di Solo, Yogyakarta dan Purwokerto ini, Ketua FSPMI Abdul Manan mengemukakan, ancaman dan tekanan menjadi persoalan serius saat kali pertama mendirikan serikat pekerja.
“Hasil dari kajian dan penelitian yang dilakukan kami, memang ada beberapa tantangan serikat pekerja, yakni mencakup kaderisasi, kesadaran yang masih rendah di kalangan pekerja media, kemampuan pengurus, partisipasi anggota serta ancaman dan tekanan. Khusus ancaman dan tekanan, sebenarnya akan tidak menjadi masalah kalau sudah diakui keberadaan serikat pekerja di media, namun kondisinya akan terbalik jika belum ada serikat pekerja,” ujarnya, Sabtu (13/8).
Selain itu, ia memaparkan dari data dewan pers pada tahun 2014, tercatat 2.338 media berdiri di Indonesia. Namun, hanya ada 24 serikat pekerja media. Dari 24 serikat pekerja tersebut, jelas Manan, hanya 17 serikat pekerja yang memiliki pencatatan yang menjadi syarat legalitas. “Parahnya lagi, serikat pekerja media akan lebih aktif saat menghadapi masalah. Atau, saat pekerja media merasa terancam karena akan diputus hubungan kerjanya,” katanya.
Fenomena munculnya gerakan serikat pekerja media yang aktif ini, jelasnya, membuat tidak awetnya keberadaan organisasi yang seharusnya bisa memperjuangkan hak-hak pekerja media. “Dalam beberapa kasus, sering terjadi beberapa pekerja media akan aktif saat mereka (pekerja media) terancam. Padahal, kondisi ini tidak kondusif untuk keberlangsungan serikat pekerja,” ucapnya.
Diakuinya, selama ini hampir seluruh pemilik media baik di daerah maupun nasional yang alergi dengan sebutan serikat pekerja atau serikat buruh. Karena itu, jelasnya, persoalan tersebut harus disikapi dalam konteks strategis. Tak hanya itu, ia menilai anggapan keberadaan serikat pekerja yang muncul menjadi ancaman bagi pemilik media sudah saatnya dilepaskan.
“Keberadaan serikat pekerja sendiri sebenarnya sangat penting dalam proses perjanjian kerja bersama (PKB) untuk memastikan hak pekerja terpenuhi. Dan sebenarnya, serikat pekerja konfrontatif dengan perusahaan,” ucapnya.
Masih menurut Manan, tradisi serikat pekerja dalam media masih kalah panjang dengan serikat pekerja di sektor lain. Dalam proses tersebut, Manan memaparkan salah satu faktor penyebabnya adalah orientasi awal pendirian pers di Indonesia yang berbeda dengan di negara lain.
“Kali pertama keberadaan pers berdiri di Indonesia dekat sekali dengan semangat perjuangan untuk merdeka, atau pers perjuangan. Pers menjadi industri, baru kali pertama disadari pada tahun 1970-an, saat muncul kasus dalam hubungan kerja di media,” jelasnya.
Menurut Manan, tradisi ini yang menyebabkan serikat pekerja media tidak memiliki perjalanan perjuangan panjang dari serikat pekerja di industri-industri. “Kalau di sektor lain, serikat pekerja dibuat bersama saat kali pertama berjalan,” ujarnya.
Sementara itu, Ketua AJI Indonesia, Suwarjono memaparkan tantangan yang akan dihadapi pekerja media di masa mendatang, seiring dengan perubahan teknologi komunikasi yang massif saat sekarang ini. “Pada tahun 2015, tercatat 18 media cetak yang menyatakan tutup. Saat itu pula, marak serikat pekerja media yang bermunculan,” ujarnya.
Meski gong senjakala media cetak terdengar, namun nasib pekeja media, terutama jurnalis, akan sangat bergantung pada perusahaan media. Lantaran saat ini, ucapnya, terjadi rekonsolidasi bisnis. Fenomena tersebut, sangat terlihat dalam media yang memaksimalkan satu tenaga untuk beberapa platform namun mendapat bayaran yang tidak sesuai.
Selain itu, adanya merjer antar perusahaan media serta akuisisi yang marak terjadi dalam dunia media online menjadi lonceng ancaman bagi pekerja media. Suwarjono mencatat, perkembangan new media akan dihadapi pekerja media. “Seperti beban bagi wartawan di lapangan bertambah, namun gaji tidak berubah. Kemudian, jam kerja makin panjang, munculnya start up yang tidak menjamin hak pekerja serta tidak adanya perlindungan,” ujarnya.
Ia menilai perlu formulasi yang tepat untuk memecahkan permasalahan kaum pekerja dengan mendirikan serikat pekerja. Diakuinya, pekerja media yang menjadi kontributor media nasional maupun lokal tidak lagi bisa berharap dari penghasilan sebagai jurnalis. “Dari survei terakhir yang dilakukan AJI Indonesia, sebagian besar responden yang merupakan jurnalis, menganggap profesinya hanya sebagai hobi,” ujarnya.