Menempatkan Suara Publik sebagai Kritik Terhadap Media

Kolom196 Dilihat
Oleh: Rudal Afgani Dirgantara (Ketua Aliansi Jurnalis Independen Kota Purwokerto)

PURWOKERTOKITA.COM – Baru-baru ini muncul poster ajakan mencegah berita bertema Covid-19 diunggah ke media sosial. Tak jelas siapa yang berinisiatif mempublikasi ajakan ini. Mereka berdalih, dengan tidak mengunggah berita-berita Covid-19 masyarakat lebih tenang dan tentram.

Ada banyak perspektif mengenai poster ajakan ini. Satu di antaranya melihat gerakan warganet ini sebagai kritik masyarakat terhadap pemberitaan media tentang pandemi Covid-19.

Dari poster yang beredar, kita bisa tahu ada sebagian orang yang merasa tidak tenang atau tidak tentram akibat pemberitaan Covid-19. Maka untuk mengembalikan ketentraman hidup mereka, disebarlah ajakan untuk “mengembargo” pemberitaan media khusus bertema Covid-19.

Terlepas dari seberapa besar jumlah pembaca yang terganggu dengan pemberitaan, media perlu merenungkan apakah kebijakan editorial mereka selama ini sudah proporsional menempatkan kepentingan publik sebagai prioritas atau justru memang menjadi teror bagi pembacanya.

Jika dari perenungan ini memang harus berubah, maka tidak ada kata terlambat. Pada situasi pandemi yang telah merenggut ribuan jiwa, media punya peran strategis membangun optimisme publik dan menumbuhkan harapan untuk bangkit kembali ke situasi normal.

Di sisi lain, publik memiliki hak mendapatkan informasi yang valid. Mengajak publik agar tidak mengunggah berita sama saja menghalangi publik mendapatkan haknya atas informasi.

Tentu ini bukan perkara sepele. Sebab, hak warga atas informasi dilindungi undang-undang. Sejumlah kalangan dari organisasi masyarakat sipil bahkan menempatkan hak atas informasi sebagai bagian dari hak asasi manusia. Sebab, tanpa panduan informasi yang kredibel, masyarakat tidak bisa mengambil keputusan yang tepat yang bisa jadi menentukan arah hidupnya.

Ambilah contoh ada informasi tentang vaksinasi massal Covid-19. Jika pemberitaan ini tak sampai ke masyarakat karena tak disebarluaskan, maka bisa jadi ada orang yang tidak tervaksin karena tidak tahu ada program vaksinasi massal di daerahnya.

Atau pemberitaan soal bantuan sosial Covid-19. Jika akses berita ini ditutup di grup publik media sosial, maka masyarakat yang semestinya mendapat bantuan sosial bisa saja tidak menerima karena ketidaktahuannya.

Justru akan lebih simpatik jika gerakan ini diarahkan pada upaya menangkal hoaks seputar Covid-19. Sebab yang banyak menyesatkan publik jutru berita hoaks. Ini sangat berbahaya karena berpotensi menjerumuskan orang banyak ke dalam situasi berbahaya.

Lebih dari itu, memagari masyarakat dari berita Covid-19 di era digital terkesan sebagai usaha yang sia-sia. Masih banyak kanal informasi yang bisa diakses selain grup-grup di media sosial. Menutup dua atau tiga lubang tak akan bisa membendung arus informasi yang mengalir deras setiap harinya.

Pada konteks inilah, gerakan ini relevan sebagai kritik terhadap media massa. Gerakan ini bukan untuk membendung arus informasi karena akan sia-sia. Gerakan ini lebih tepat ditempatkan sebagai pengingat para pembuat keputusan di ruang redaksi agar lebih sensitif terhadap suasana batin publik.

 

 

Tinggalkan Balasan