Begini Sejarah Tradisi Sabet Rotan Ujungan

Lingkungan, Wisata282 Dilihat
Incar kaki lawan. Upacara sabet rotan atau yang dikenal dengan Ujungan digelar oleh masyarakat Desa Gumelem Wetan Kecamatan Susukan Banjarnegara, Jumat (28/9). Upacara tersebut sudah ada sejak 1830, digelar untuk meminta hujan akibat musim kemarau berkepanjangan. Ujungan dilakukan setiap Jumat Kliwon hingga hujan turun. Mereka percaya hujan akan turun saat ada darah menetes ke tanah dari upacara itu. (Arisandria/Purwokertokita.com)
Incar kaki lawan. Upacara sabet rotan atau yang dikenal dengan Ujungan digelar oleh masyarakat Desa Gumelem Wetan Kecamatan Susukan Banjarnegara, Jumat (28/9). Upacara tersebut sudah ada sejak 1830, digelar untuk meminta hujan akibat musim kemarau berkepanjangan. Ujungan dilakukan setiap Jumat Kliwon hingga hujan turun. Mereka percaya hujan akan turun saat ada darah menetes ke tanah dari upacara itu. (Arisandria/Purwokertokita.com)

Purwokertokita.com – Akhir pekan ini agendamu ke mana? Kalau belum ada agenda, yuks datang ke Gumelem Ethnic Carnival. Acara ini mulai digelar sejak Sabtu (28/11) hingga Minggu (29/11). Ada banyak agenda yang bakal digelar loh, rugi kalau tidak datang.

Salah satu yang bakal menjadi tontonan menarik yaitu tradisi Ujungan. Tradisi ini sebenarnya dilakukan untuk meminta hujan. Meski saat ini sudah turun hujan, namun tetap menarik untuk diikuti. Apalagi bagi kamu yang hobi fotografi.

Untuk lebih mengenal apa itu tradisi Ujungan, boleh dong kita tahu dulu sejarahnya. Tradisi ini ternyata sudah sangat tua loh. Purwokertokita.com sebagai media partner kegiatan ini, akan mencoba menuliskannya untuk anda semua. Ini dia sejarah Ujungan.

Peristiwa kehidupan masyarakat Gumelem yang terjadi sekitar tahun 1813-an, hingga kini dijadikan budaya atau tradisi oleh masyarakat Desa Gumelem Wetan dan sekitarnya, awal mula tradisi ini tumbuh ketika Desa Gumelem Wetan ( saat itu masih berupa Padukuhan Karang Tiris ) Kecamatan Susukan dilanda kekeringan yang sangat panjang, akibatnya tidak sedikit petani yang selalu berebut air untuk keperluan sawah ataupun ladangnya. Cara untuk mengairi lahan sawah dengan cara bergilir waktu itu sudah tidak lagi dihormati petani.

Pada hari Jum’at Kliwon ketika itu di sebuah Sumber Air ada dua orang petani bersitegang berebut air untuk mengairi sawah , Ki Singakerti yang mengetahui perstiwa itu pun tidak bisa melerai , karena kedua orang petani yang bersitegang tidak mau berdamai , Ki Singakerti memberikan masing-masing mereka sebilah Kayu Rasihe untuk saling “sabet” . Peristiwa yang cukup lama menyebabkan tubuh kedua petani itu mengalami luka – luka dan banyak mengucurkan darah, tidak selang lama kemudian turunlah hujan dan ternyata hujan turun sangat lebat.

Kedua Petani itu tersadarkan diri akibat perbuatan yang dilakukanya ,seketika itu pulalah mereka saling meminta maaf dan Memanjatkan Rasa Syukur Kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan karunia berupa hujan sehingga tanaman dapat tumbuh subur kembali dan lahan sawah beserta ladang petani dapat diolah untuk mendapatkan hasil guna menopang kehidupanya.

Peristiwa “saling sabet“ antara kedua petani di atas, oleh seorang Tokoh Padukuhan Karang Tiris yaitu Ki Singakerti dan para Demang di Gumelem saat itu beserta para petaninya, dijadikan sebagai peringatan atau momentum atau simbol yang akhirnya hingga sekarang menjadi sebuah tradisi Mujung (Memohon). Adapun SENI TRADISONAL UJUNGAN adalah bentuk Seni Budaya dalam pelaksanaan Mujung atau memohon datangnya hujan kepada Yang Kuasa apabila terjadi musim kemarau yang sangat panjang.

Dalam perkembanganya, Ujungan yang selalu digunakan sebagai sarana untuk memohon turunya hujan selau digelar mulai Hari Jum,at Kliwon pada mongso kapat (keempat) dan kamo (kelima) di musim kemarau Selanjutnya telah dilakukan berbagai macam perubahan dengan tidak meninggalkan unsur “sakral”nya, diantaranya adalah dalam hal bagian tubuh yang disabet, sekarang hanya terbatas dari bagian lutut hingga telapak kaki, pelakunya pun dilengkapi dengan berbagai pelindung termasuk pelindung kepala yang dihias dengan berbagai ornamen, demikian juga alat pemukulnya pun telah menggunakan rotan sepanjang lengan orang dewasa dan telah dikemas dalam sebuah seni.

Kedua orang pemainnya termasuk Wlandang ( wasit ) harus melakukan gerak tari dengan diiringi irama gamelan yang sangat sederhana. Gerak tari yang ditampilkan adalah gerak tari yang menunjukan atau melambangkan kekuatan tubuhnya dan kelincahan menghindar dari “sabet”an lawan.

Walaupun dalam pertunjukanya adalah bentuk perlawanan atau bentuk adu kekuatan, namun setelah pertunjukan usai, para pemain tidak ada unsur dendam atau sejenisnya, rasa kekeluargaan dan sportivitasnya tetap terjaga dengan baik. Usaha Pelestarian Budaya Tradisional Ujungan di Desa Gumelem Wetan Kecamatan Susukan Kabupaten Banjarnegara sejak Tahun 1980, yaitu dengan dibentuknya Paguyuban Seni Tradisonal Ujungan Giring Budaya.

Aris Andrianto

Tinggalkan Balasan