Purwokertokita.com – Situs Purbakala Gunung Padang Majenang masih menjadi kontroversi. Apakah terbentuk dari proses alamiah intrusi magma yang muntah lewat celah pegunungan, atau dibuat oleh tangan-tangan gagah nan terampil ribuan tahun lalu.
Hingga saat ini, ritual untuk memasuki altar utama berbentuk hampir setengah lingkaran di Gunung Padang, masih sama dengan ritual ratusan tahun lampau.
Mengulik Situs Purbakala Gunung Padang Majenang nan Misterius (1)
Tetamu diwajibkan sowan, atau meminta restu kepada juru kunci. Oleh juru kunci, pengunjung akan diajak masuk jantung hutan jika cuaca memungkinkan.
“Kalau cuaca tidak memungkinkan, bisa saja perjalanan ditunda,” kata Hizi Firmnsyah, Budayawan muda yang intens mendampingi warga setempat. “Soalnya kita harus melewati semacam ngarai, atau kali kecil penuh bebatuan dengan tingkat kemiringan yang tinggi. Kalau hujan deras, banjir bisa saaj terjadi,” lanjutnya.
Yang berbahaya, kata dia, adalah kemungkinan bebatuan terbawa arus banjir dan mengenai pengunjung. “Ya itu, bahayanya,” ujarnya.
Setelah berhasil melewati kali kecil dengan medan cukup berat, tetamu juga akan melewati medan tak kalah seru. Kita harus beradu kaki dengan licinnya tanah bertingkah perakaran di medan terjal.
“Banyak pohon yang tidak boleh dirusak. Jadi, di sini wakil juru kunci akan memimpin perjalan. Dia yang membuka jalur duluan,” katanya.
Kemudian, sebelum masuk, tamu diwajibkan berwudlu terlebih dahulu di pancuran kecil sekira 50 meter di bawah altar. Lalu, juru kunci atau yang mewakili mengumandangkan azan.
“Ritual ini dijaga ratusan tahun oleh masyarakat setempat. Baru setelah itu, kita akan masuk ke altar dipimpin oleh juru kunci, Bapung Suganda Sasmita,” ungkap Hizi.
Terlepas apakah situs ini hasil proses alam atau peninggalan purbakala, Hizi berharap agar pemerintah segera melakukan penelitian menyeluruh agar Situs Gunung Padang bisa terjaga kelestariannya
Situs Gunung Padang di Majenang Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah yang strukturnya mirip dengan Situs Gunung Padang Cianjur, Jawa Barat perlu dikonservasi. Hal ini untuk menjaga keutuhan dan otentitas situs menyusul meningkatnya kunjungan wisatawan ke situs tersebut.
“Dalam dalam kunjungan beberapa ahli geologi dan arkeologi setahun lalu, diduga situs ini adalah peninggalan budaya megalitikum yang kemungkinan besar seusia dengan Gunung Padang Cianjur,” jelasnya.
Kendati demikian, kata Hizi, ada pula ahli yang menyatakan bahwa struktur batuan Gunung Padang Majenang sebagai proses alamiah akibat intrusi magma.
Terlepas pro dan kontra Gunung Padang Majenang sebagai peninggalan megalitikum maupun proses alamiah, situs purba ini perlu dilindungi. Pasalnya, situs berangsur rusak karena ulah manusia maupun alam.
“Ada batuan yang merupakan bagian situs yang sudah terbawa arus sampai 500 meter ke bawah. Soalnya situs ini berada tepat di bawah bukit yang menjadi aliran air,” jelasnya.
Situs yang ada di Desa Salebu Kecamatan Majenang itu sudah berpuluh tahun menjadi tempat persembahan masyarakat setempat. Situs ini mendapat perhatian dari pemerintah setelah ditemukannya Situs Gunung Padang Cianjur pada 2008.
“Situs ini memiliki juru kunci khusus yang disematkan turun temurun. Juru kunci sekarang diwarisi oleh ayahnya. Sedangkan ayahnya diwarisi oleh kakek juru kunci sekarang,” jelasnya.
Juru kunci Situs Gunung Padang, Suganda Sasmita mengatakan sejak tahun 1800-an situs ini sudah diketahui oleh masyarakat dan menjadi tempat persembahan. Ada pula yang khusus datang untuk bersemedi.
“Sering ada tamu dari luar daerah yang ingin semedi di sini. Saya hanya mengantarkan saja. Soal semedi dalam hal apa saya tidak ikut campur,” ujar Suganda.
Senada dengan Hizi, Suganda juga meminta agar pemerintah daerah memperhatikan situs ini sebagai cagar alam dan cagar budaya agar tidak terus terjadi kerusakan. (bersambung)