Inalillahi…67 Tahun Lalu Tan Malaka Mati Dieksekusi

Rehat194 Dilihat
Suasana rumah Tan Malaka di Sumatera Barat (Aris Andrianto/Purwokertokita.com)
Suasana rumah Tan Malaka di Sumatera Barat (Aris Andrianto/Purwokertokita.com)

Purwokertokita.com – Pada 21 Februari 1949, Tan Malaka (TM) dieksekusi mati oleh pasukan dari Batalyon Sikatan, Divisi Brawijaya di Selopanggung, Kediri, Jawa Timur. Salah satu pendiri republik ini, pernah beberapa kali singgah di Purwokerto.

Bersama Jenderal Soedirman, ia membentuk Persatuan Perjuangan. Semboyannya adalah, merdeka 100 persen. Tak mau kompromi dengan penjajah Belanda.

Purwokertokita.com berusaha menggali kembali memori tentang Tan Malaka saat sedang di Purwokerto. Kenangan tentang Tan Malaka banyak kami gali dari Perintis Gunawan (PG).

Ia adalah anak dari Slamet Gandhiwijaya, sahabat dekat Tan Malaka.
PG bercerita tentang kegiatan politik ayahnya Slamet Gandhiwijaya dan pertemuannya dengan Tan Malaka. Cerita tersebut ia peroleh dari ibunya, Martini Gandhiwijaya. Diceritakan saat PG masih SD hingga SMP. “Ibu bercerita sebelum saya tidur,” ujarnya.

Rumah Gandhi dulu saat ini sudah menjadi areal penggilingan padi dan Koperasi Unit Desa Patikraja. Posisi persisnya berada di Desa Kedungrandu Kecamatan Patikraja Kabupaten Banyumas. Atau sekitar 10 kilometer dari Kota Purwokerto.

Bekas rumah Gandhi saat ini sudah tidak ada. Bangunan rumah Gandhi yang saat ini menjadi KUD Patikraja adalah bangunan baru. Termasuk tembok dan halamannya juga merupakan bangunan baru. Yang tersisa hanyalah pagar keliling berwarna putih yang memisahkan komplek tersebut dengan komplek lainnya.

Di kanan-kiri komplek tersebut, saat ini telah berdiri rumah-rumah penduduk dan tempat usaha mereka. Diantaranya warung makan, tempat cuci mobil, gudang barang bekas dan usaha lainnya.

Menurut kesaksian beberapa warga, jaman dahulu, komplek tersebut merupakan bekas stasiun pada jaman Belanda. Stasiunnya sendiri saat ini yang menjadi tempat penggilingan padi. Rumah Gandhi berada dalam satu komplek dengan stasiun tersebut.

Kalau rumah Gandhi telah berubah menjadi KUD Patikraja, maka stasiun tersebut kini telah menjadi tempat penggilingan padi dan gudang beras. Bangunannya tinggi menjulang. Di halamannya dipakai sebagai tempat menjemur padi. Sedangkan gedung utama, letaknya di belakang rumah Gandhi, dipakai sebagai ruang penggilingan padi. Ada empat mesin penggilingan padi di tempat tersebut.

Beberapa tetua desa membenarkan kalau tempat tersebut dulunya adalah bekas stasiun plus rumah Gandhi sebelum pindah ke Desa Patikraja Kecamatan Patikraja.

Sidi, kelahiran 1944, mantan pegawai SDS (Serajoedal Stoomtram Maatschappij) menyebutkan selain stasiun, dulunya ada tiga rumah milik Belanda yang berada di tempat tersebut. Sisanya hamparan sawah yang luas. Ia menempati salah satu rumah dari tiga rumah tersebut. Salah satunya, yang berada satu komplek dengan stasiun, ditempati oleh Gandhi. Saat itu ada dua maskapai kereta api yang beroperasi. Selain SDS ada juga SS (Serajoedal Statspoor). Keduanya mempunyai jalur kereta api yang bersebelahan dengan Sungai Serayu.

Wasiman, 55 tahun, salah seorang yang menempati rumah milik Belanda lainnya. Ia banyak mendapat cerita dari ayahnya soal kondisi masa lalu daerah tersebut.Menurutnya, rumah yang ia tempati dulunya milik Belanda sekitar tahun 1930-an. Setelah stasiun bubar, rumah tersebut dibeli oleh Si Kuan Sin, dijadikan penggilingan padi sampai hari ini.

Di lokasi tersebut juga masih ada bekas bangunan besar yang dulunya adalah gudang beras. Dari stasiun ke gudang beras tersebut, dulunya ada sebuah rel yang menghubungkan dua tempat tersebut. Jaraknya sekitar 200 meter dari stasiun. “Mereka duluĀ  mendorong gerbong kecil berisi beras dari stasiun ke gudang,” ujar Wasiman.

Di lokasi tersebut juga ada sebuah bangunan tua yang dulunya adalah dipo lokomotif, tempat untuk perbaikan lokomotif kereta api. Kini bangunan itu sudah tak dipakai lagi.

Nasirun, kelahiran 1942, tinggal bersama Wasiman di tempat tersebut. Ia mengetahui Gandhi pernah tinggal di rumah yang berada di komplek stasiun tersebut. Menurutnya, rumah Gandhi dahulu menghadap ke Utara. Komplek rumahnya dipagari dengan pohon petai cina. Di belakang rumahnya, ada sebuah sungai kecil. Sungai tersebut merupakan batas antara rumah Gandhi dengan hamparan sawah luas yang langsung dipagari oleh bebukitan. “Saya tahu itu rumah Gandhi, ya karena dulu saya suka memetik Klandingan (petai cina) di tempat tersebut,” ujar Nasirun.

Darmuji, kelahiran tahun 1932, mengaku kenal dengan Gandhi. Meskipun tidak kenal dekat, atau ia istilahkan ‘kenal-kenal kebo’. Waktu itu Gandhi adalah seorang priyayi yang terpandang dan kaya. “Saya dan Den Slamet (Gandhi) kan berbeda,” ujarnya.

Dari sumber-sumber tersebut, tidak ada yang bisa menggambarkan bagaimana kondisi rumah Gandhi dulu. Mereka yang mengaku dari golongan bawah, tidak berani memasuki rumah Gandhi yang termasuk golongan elit.

Sementara dari cerita Martini melalui PG, rumah Gandhi dulunya berarsitektur Belanda. Lumayan besar. Rumah tersebut dilengkapi dengan garasi mobil. Sudah ada pesawat telepon di rumah tersebut. Rumah tersebut juga dilengkapi dengan sebuah kolam ikan. Salah satu ikannya bernama Yopi. Gandhi dulu juga mempunyai seekor anjing yang diberi nama Nero.

Menurutnya, TM suka memberi makan ikan tersebut saat ia datang ke rumah tersebut. “Kalau diberi makan, ikannya langsung datang menghampiri,” ujarnya.

Setidaknya TM pernah datang ke rumah tersebut 3-7 kali. Kalau TM datang, baik Martini maupun Gandhi selalu bilang Ohir datang. Itu merupakan bahasa sandi ketika TM datang. Waktu itu TM sedang menjadi incaran intel Belanda.

Meski menjadi incaran intel, namun rumah tersebut tidak pernah digerebek oleh pasukan dalam jumlah besar. TM sendiri selalu bisa menghindar saat ada intel datang. “Kalau ada yang nanya apa ada tamu, jawabannya ada. Jika TM pergi ke Selatan, maka jawabannya TM pergi ke Utara,” terang PG.

Saat datang ke rumah Gandhi, TM akan langsung masuk ke kamar. TM sendiri merupakan sosok yang menurut Martini adalah orang yang sederhana. Ia juga seorang yang pendiam, tegas, baik hati dan solidaritas tinggi. “Menurut ibu, TM orangnya bertauhid. Tapi ia bukan tipe orang yang selalu pamer jika mau menghadap tuhannya,” terang PG.

TM selalu membawa dua pakaian, satu pakaian yang dipakainya, satunya lagi pakaian untuk cadangan. Warnanya putih dan cokelat, terbuat dari bahan drill. Ia juga suka mengenakan topi yang berbeda-beda saat datang. “Mungkin untuk penyamaran,” ujar PG.

TM sendiri saat datang ke rumah Gandhi selalu memperkenalkan dirinya dengan nama aslinya, Tan Malaka. Termasuk jika mengadakan pertemuan dengan para pengikutnya di daerah Banyumas dan sekitarnya.

Makanan kesukaan TM adalah pete. Selain itu ia juga suka rendang jengkol. Ia gemar masakan pedas. Ia juga suka sambal. “TM nda pernah minta dimasakin apa, tapi ibu tahu apa yang menjadi kegemaran TM,” terang PG.

PG mengatakan di rumah itulah pertemuan antara TM dengan Jenderal Soedirman. Ibunya tidak menyebutkan berapa persisnya pertemuan itu terjadi. Jika ada pertemuan itu, ibunya langsung disuruh keluar. Ia tidak boleh mengikuti pertemuan tersebut.

Pertemuan agak besar juga sering dilakukan di rumah tersebut. Orang yang datang sekitar 20-an. Selain Gandhi yang menyediakan, beberapa tetangga dan pengikut TM juga sering membawa beras dan gula untuk keperluan logistik pertemuan tersebut.

Satu kebiasaan Jenderal Soedirman saat itu yang diceritakan Martini adalah kesukaannya menggendong anak angkat Gandhi yang masih kecil. Namanya Herman. Ia adalah sepupu PG, atau anak dari adik Martini. Saat itu, Gandhi dan Martini belum dikaruniai anak.

Tidak diketahui pasti, TM datang kerumah tersebut menggunakan kendaraan apa. Namun saat itu kereta api merupakan moda transportasi yang cukup vital. Rumah Gandhi sendiri persis berada di komplek stasiun kereta api.

Stasiun tersebut menghubungkan antara Purwokerto dengan Kota Cilacap dan daerah sekitarnya. Jejak jalurnya masih ada di desa Mandirancang, Kebasen, hingga sampai Gombong. Jalur tersebut juga terhubung dengan Stasiun Timur Purwokerto yang hanya 10 meter dari Balai Prajurit, gedung tempat Konggres Persatuan Perjuangan pertama digelar.

PG juga menyebutkan, kemungkinan TM melarikan diri lewat bukit yang letaknya berada tak jauh dari rumah Gandhi. Bukit tersebut sambung-menyambung hingga Gombong Kabupaten Kebumen.

Satu-satunya barang yang berkaitan dengan TM, saat ini tinggal meja makan. Meja tersebut berbentuk elips. Terbuat dari kayu jati. Aslinya berwarna hitam, namun saat ini sudah di pernis (cat kayu) sehingga warnanya menjadi hitam kecoklatan.

Menurut Sri Astuti, 52 tahun, meja tersebut belum pernah diperbaiki atau dirombak sekalipun. “Kondisinya masih utuh,” ujarnya. Astuti sendiri masih bersaudara dengan PG yang saat ini menempati rumah Gandhi yang baru.

Meja tersebut masih dilengkapi dengan empat kursi. Kursi yang pernah diduduki oleh TM ketika ia makan. Kursi tersebut telah mengalami perbaikan. Alas duduknya telah diganti dengan busa berwarna hijau. “Dulu sempat rusak alasnya, makanya diganti dengan busa,” beber Astuti.

Menurut PG, di meja makan itulah TM dan Soedirman sering berdiskusi. Biasanya dilakukan sambil menyantap makanan.

Sayang, tempat tidur yang biasa digunakan TM saat ini sudah tak ada lagi wujudnya. Beberpa tahun lalu, tempat tidur yang biasa dipakai TM berakhir di tukang besi. Dijual kiloan.

PG menggambarkan, tempat tidur TM terbuat dari besi tebal. Mempunyai empat tiang yang diĀ  ujung tiangnya terdapat bulatan besar. Bulatan tersebut digunakan untuk memasang kelambu. “Kalau nda salah, warnanya putih,” terang PG.

Sementara buku harian milik Gandhi juga saat ini tak tahu rimbanya dimana. Buku tersebut berisi tentang catatan berisi rangkaian peristiwa saat Gandhi masih hidup. Termasuk pertemuannya dengan TM dan Soedirman.

Tinggalkan Balasan