Balada Penderes Nira Banyumas (Bagian 2)

Lingkungan, Ragam328 Dilihat
Penderes nira sedang turun dari pohon kelapa setelah mendapatkan nira untuk bahan baku gula kelapa. (Aris Andrianto/Purwokertokita.com)
Penderes nira sedang turun dari pohon kelapa setelah mendapatkan nira untuk bahan baku gula kelapa. (Aris Andrianto/Purwokertokita.com)

Purwokertokita.com – Ada banyak pihak yang peduli dengan nasib para penderes nira. Selain itu, sejumlah penderes juga mengorganisir diri dengan membentuk koperasi.

Persoalan penderes ini memang bukan sekedar persoalan keselamatan kerja. Tapi, persoalan penjualan gula juga menjadi satu tantangan tersendiri bagi mereka.

Salah satu yang aktif memperjuangkan nasib penderes nira adalah Koperasi Nira Satria.

Saat ini, Koperasi Nira Satria fokus untuk memproduksi gula kristal. Gula ini sedang naik daun di Eropa. Harganya pun lebih tinggi dibanding gula cetak. “Apalagi produk gula kristal organik, saat ini cukup diminati oleh penduduk Eropa,” kata Lewi Cuaca, eksportir produk organik PMA Indonesia.

Ia mengatakan, gula kristal organik merupakan pemanis yang sangat sehat dibanding gula dari tebu. Selain itu, pembeli Eropa juga cukup menghargai gula kristal karena hampir seluruhnya merupakan buatan tangan.

Lewi berharap pemerintah bisa mengikutsertakan penderes nira ke BPJS Ketenagakerjaan. Selama ini, belum ada teknologi yang cocok untuk penderes dalam hal keamanan untuk naik pohon.

Hal senada juga diungkapkan oleh Martin Steckdaub, penikmat gula kristal dari Stutgart Jerman yang berkunjung ke Desa Rancamaya Cilongok Banyumas. Cilongok merupakan salah satu produsen terbesar gula kristal di Banyumas. “Saya akan coba komunikasikan dengan ahli teknologi di Jerman untuk membuat pengaman bagi penderes,” katanya.

Ia mengatakan, gula kristal mulai ngehits di Jerman sejak dua tahun terakhir. Mereka mau membeli dengan harga tinggi karena kadar gulanya rendah dan ramah untuk penderita diabetes.

Kepala Seksi Industri dan Kelautan pada Dinas Perindustrian Perdagangan dan Koperasi Banyumas, Srigito mengatakan, kartu asuransi penderes sebenarnya sudah diluncurkan tahun 2012. “Yang memiliki kartu penderes, jika ada yang kecelakaan akan mendapatkan santunan,” katanya.

Untuk penderes yang jatuh dari pohon kelapa dan meninggal dunia akan mendapat santunan sebesar Rp 5 juta. Sedangkan jika cacat fisik mendapat Rp 7 juta dan jika luka parah mendapat Rp 10 juta.

Ia menambahkan, jika ada penderes yang belum masuk dalam kepesertaan kartu penderes, maka penderes tersebut harus menunjukkan bahwa dia benar-benar seorang penderes baru akan diberikan santunan.

Bupati Banyumas Achmad Husein mengatakan, upaya untuk mengurangi jumlah korban jatuh dari pohon bagi penderes nira terus dilakukan. “Kesejahteraan penderes nira memang merupakan salah satu prioritas kerja saya karena gula kristal merupakan produk andalan Banyumas,” katanya.

Ia mengatakan, pernah meberikan bibit kelapa genjah yang pohonnya tidak terlalu tinggi. Tapi program ini dihentikan karena ada dugaan korupsi yang melibatkan kepala dinas.

Bagi Achmad, yang memiliki kegemaran dalam riset teknologi terapan ini, penderes rentan kecelakaan kerja karena melakukan aktivitas lapangan yang cukup membahayakan.

“Problem-nya dari petani, adalah korbannya selalu ada cukup banyak sampai meninggal dunia, banyak yang mengalami cacat karena naik pohon kelapa yang cukup tinggi lalu jatuh. Jadi, korbannya banyak dan butuh santunan,” jelasnya.

Langkah untuk mengurangi risiko kecelakaan itu terus diupayakan, salah satunya dengan membuat pendek fisik pohon. Caranya, dengan mencari bibit yang tidak terlalu tinggi memanjat pohon saat menderes nira, supaya kaum pemuda pun berkeinginan untuk menderes.

“Untuk jangka panjang sangat bagus sekali di sini. Ada teknologi, kultur jaringan, kerja sama balai besar Makasar, kita mengambil bibit, pasti nilainya banyak.”

Selain itu, pihaknya telah meluncurkan program kelapa genjah enthok yaitu kelapa yang lebih pendek dan memiliki kualitas yang sangat baik sehingga nantinya para penderes tidak perlu lagi naik,hanya cukup berdiri saja sudah bisa melakukan penderesan.

Sementara itu, untuk memberikan jaminan keselamatan penderes diberikan kartu penderes yang digunakan apabila para penderes mengalami kecelakaan dalam aktifitasnya akan mendapatkan santunan yaitu cacat berat Rp15 juta, cacat ringan Rp10 juta dan meninggal Rp5 juta.

Perlawanan Tengkulak Gula

Hari masih temaram. Majingun, 60 tahun, sudah bersiap pergi keladangnya. Di belakang pinggulnya tergantung 20 bokor. Wadah nira kelapa yang terbuat dari batang bambu.

Seperti biasa, pagi itu ia akan mengambil nira kelapa. Dengan cekatan, Majingun menaiki pohon kelapa yang tingginya sekitar 10-15 meter. Dia atas pohon, ia mengambil bokor yang sudah terisi nira, dengan bokor yang masih kosong. “Setiap hari saya naik 30 pohon kelapa,” ujar Majingun, penderes nira sekaligus pembuat gula kelapa dari Desa Sudimara, Kecamatan Cilongok Banyumas.

Ia berkisah, Cilongok memang sudah terkenal sebagai penghasil gula kelapa sejak negeri ini belum merdeka. Sebuah pekerjaan turun-temurun.

Majingun tak sendirian. Ia adalah satu dari sekitar 10 ribu penderes gula kelapa di tempat itu. Total penduduk Cilongok sendiri jumlahnya sekitar 117 ribu jiwa.

Kehidupan sebagai penderes, secara materi sangat tidak menjanjikan. Setiap harinya, mereka rata-rata hanya bisa menghasilkan 2 kilogram gula kelapa atau orang-orang setempat menamainya gula jawa.

Kebanyakan dari mereka tidak mempunyai pohon kelapa sendiri. Sadikin, 50 tahun, misalnya. Ia harus berbagi hasil dengan pemilik pohon kelapa setiap lima hari sekali. “Istilahnya maro, dibagi tiap satu pasaran atau lima hari,” papar Warga Desa Pageraji Cilongok.

Ia berkisah, untuk membuat gula kelapa dari mulai penyadapan hingga menjadi sebentuk gula, dibutuhkan sebuah proses panjang. Awalnya bunga pohon kelapa atau yang disebut manggar harus dipotong ujungnya.

Sampai dengan keluar nira, dibutuhkan waktu 1-3 bulan. Tergantung musimnya.

Musim juga mempengaruhi banyak-sedikit keluarnya nira. Jika sedang musim hujan, nira yang keluar akan banyak. Sebaliknya, saat musim kemarau, nira yang keluar amatlah sedikit. “Otomatis akan mempengaruhi jumlah produksi gula,” kata Suryanto, 46 tahun, bercerita tentang tabiat pohon kelapanya.

Produksi gula di tempat tersebut masih dikerjakan dengan cara tradisional. Nira hasil penyadapan pohon kelapa harus dimasak selam lima jam.

Biasanya mereka mulai memasak nira menjadi gula kelapa, pada pukul 11.00 siang hingga pukul 16.00 sore. Alat untuk memasak namanya jadi, semacam wajan besar dari tembaga. Diameternya mencapai satu meter.

Di atas bara api yang tidak diatur suhunya, nira tersebut dimasak. Sesekali bahan tersebut harus diaduk agar bahannya tidak menggumpal. “Sesekali saja, kalau terus-menerus, lengannya pegal,” ujar Rodiah, 63 tahun, pembuat gula di Desa Pageraji.

Setelah matang, bahan tersebut dimasukkan kedalam cetakan yang sudah disiapkan. Cetakannya terbuat dari batang bambu yang dipotong dengan ukuran dua sentimeter, diameter 10 sentimeter. Bentuk jadinya silinder pipih.

Bentuk silinder yang melebar itulah yang menjadi pembeda dengan gula dari daerah lain. Gula yang berasal dari Kebumen biasanya berbentuk cakram, sedangkan gula Banyuwangi bentuknya seperti tabung.

Rodiah mengatakan gula jawa Cilongok mempunyai warna yang khas. “Warnanya merah agak kekuningan,” terangnya.

Warna tersebut dihasilkan dari proses pembuatan yang sama sekali tidak menggunakan bahan campuran apapun. Seratus persen nira kelapa yang dimasak.

Saat ini gula dipasaran harganya bisa mencapai Rp 8.000 per kilogram. Padahal pada tahun-tahun sebelumnya, 1 kilogram gula jawa bisa mencapai harga Rp 11.00 per kilonya. “Sekarang sama beras mahal berasnya, padahal sehari paling kami cuma produksi 2 kilogram,” keluh Rodiah.

Hancurnya harga gula beberapa tahun terakhir dipengaruhi oleh maraknya produksi gula masak. Gula jenis ini merupakan hasil olahan dari gula yang sudah rusak dicampur dengan gula pasir.

Khodim, pembuat gula masak mengaku bisa meraup keuntungan lebih saat memproduksi gula jenis ini. Di pasaran, gula masak harganya selisih Rp 500 dari gula asli. “Saya menjualnya ke pasar Jakarta, disini tidak laku,” katanya blak-blakan.

Selain harganya murah, gula masak juga mempunyai kelemahan lain. Gula jenis ini akan kadaluarsa setelah satu bulan, berbeda dengan gula asli yang bisa awet sampai tiga bulan. Pun belum ada lembaga yang meneliti kualitas kesehatan dari gula masak.

Gula masak sebenarnya bukan hanya musuh bagi pembuat gula asli. Pabrik kecap yang menjadikan gula asli sebagai bahan dasarnya, juga menolak keras produk gula masak. “Saya pernah disuruh pulang gara-gara ada satu gula masak yang tercampur dalam gula saya, akhirnya saya rugi 25 ton” terang Suryanto, pengepul dan penyalur gula dari Cilongok.

Suryanto adalah salah satu contoh pemain besar. Setiap harinya, ia melayani tender pemesanan gula dari tiga pabrik kecap terbesar di Indonesia. Rata-rata setiap harinya, ia mengirim 25-50 ton gula ke pabrik kecap tersebut.

Setidaknya ada lima pemain besar dalam tata niaga gula jawa di daerah tersebut. Mereka rata-rata mempunyai delapan container untuk mendistribusikan gula Cilongok.

Selain pemain besar, ada juga beberapa pemain menengah yang mengambil sisa ceruk dari pemain besar. Mereka adalah pengepul yang khusus melayani toko dan beberapa usaha lainnya.

Dul Kodir, 68 tahun, adalah salah satu pengepul gula yang melayani permintaan toko dan supermarket. Ia mengaku lebih banyak melempar barangnya ke Jakarta.

Ia tak mengelak pernah menggunakan gula masak untuk dijual dipasaran. Bahkan sesekali ia juga mendatangkan gula dari daerah lain semacam Kebumen, Cilacap, Lampung dan Banyuwangi untuk memenuhi pesanan pelanggannya. “Labelnya gula Cilongok, padahal banyak juga gula dari daerah lain yang masuk sini,” ungkapnya.

Tinggalkan Balasan