
Purwokertokita.com – Menjadi penderes nira di Kabupaten Banyumas merupakan sebuah perjudian dengan taruhan nyawa. Jika jatuh dari pohon pilihannya hanya ada dua, meninggal di tempat atau cacat seumur hidup. Namun mereka juga adalah orang-orang yang bersahaja. Percaya bahwa pohon kelapa itu seperti leluhur mereka, harus dihormati dan diajak berkomunikasi.
Pekerjaan menjadi penderes nira adalah pekerjaan turun temurun. Purwokertokita.com ingin mengajak pembaca agar mengenal lebih dekat dengan para penderes nira ini. Tulisan ini merupakan seri pertama dari tiga seri tulisan yang akan kami sajikan setiap hari.
Casmin, 55 tahun, warga Desa Kedungurang Gumelar Banyumas terlihat menahan sakit. Enam tulang rusuknya patah. Tulang belakangnya bergeser.
“Saya jatuh dari pohon kelapa dua minggu lalu,” kata Casmin, saat ditemui di rumahnya, Rabu (5/5).
Ia kini menjalani pengobatan alternatif di rumahnya. Untuk biaya berobat ke rumah sakit, Casmin tak punya cukup banyak uang. Pun ia tak mempunyai asuransi kesehatan dan asuransi kecelakaan kerja untuk membantu meringankan penderitaannya.
Casmin hanyalah satu dari puluhan orang yang cacat sementara, permanen hingga meninggal dunia akibat terjatuh dari pohon kelapa. Sebagai penderes nira, ia setiap hari harus memanjat pohon kelapa pada pagi dan siang.
Ada minimal 20 pohon kelapa dengan ketinggian 25-30 meter untuk dipanjat. Tanpa alat pengaman. Jika jatuh, pilihannya hanya ada dua yakni cacat maupun meninggal dunia. “Tapi ada tetangga saya yang jatuh tujuh kali tidak apa-apa,” katanya.
Kasirun, 60 tahun, mengaku sudah 40 tahun menjadi penderes nira. Nira yang merupakan bahan baku untuk membuat gula kelapa minimal diperoleh Kasirun untuk membuat tiga kilogram gula merah. “Saya tidak pernah absen manjat kelapa selama 40 tahun kecuali sedang sakit,” ujarnya.
Meski usianya sudah renta, ia belum berniat untuk pensiun sebagai penderes nira. Beruntung, ia tidak pernah jatuh dari pohon. “Kalau mau naik, Bismmillah saja,” katanya.
Maksudi, 55 tahun, juga punya pengalaman pahit karena ayahnya meninggal akibat jatuh dari pohon kelapa. Ia setiap pukul 06.00 dan 16.00 pergi ke ladang untuk memanjat 26 pohon kelapa. “Kadang sampai jam 11 malam. Meski gelap dan tanpa penerangan, saya bisa melihat dengan batin saya,” katanya.
Ia hanya takut manjat pohon saat ada petir. Selain itu, meskipun hujan deras, ia kerap nekat manjat pohon.
Ketua Umum Koperasi Nira Satria Banyumas, Nartam Andrea Nusa mengakui, tingginya risiko kematian para penderes nira. “Mereka selama ini memang tidak dilindungi sistem jaminan sosial. Kalaupun ada, birokrasinya terlalu ribet,” katanya.
Nartam mengatakan, Koperasi Nira Satria didirikan karena rentannya pekerjaan penderes nira. Selain tak bisa keluar dari jeratan tengkulak gula, penderes yang meninggal dunia juga cukup tinggi. Sedangkan tahun ini, tercatat 3 orang jatuh dan dua meninggal dunia.
Dari catatan Dinas Sosial Banyumas, setiap tahun rata-rata 70 orang meninggal dunia akibat jatuh dari pohon kelapa. Di Banyumas sendiri ada sekitar 10 ribu penderes nira yang tersebar di 27 kecamatan.
Masih menurut Nartam, untuk mengurangi penderitaan penderes nira, mereka membentuk koperasi penderes. Saat ini anggotanya mencapai 1.074 orang penderes. “Dari keuntungan yang dihasilkan koperasi kami menyisihkan untuk asuransi komunitas bagi yang cacat maupun meninggal dunia,” katanya.
Ia berharap pemerintah daerah dan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) mau turun ke masyarakat untuk mengajak penderes nira masuk dalam kepesertaan BPJS. Ia mengatakan, selama ini ada sejumlah penderes yang memiliki Kartu Penderes dari Pemerintah Kabupaten Banyumas. Namun tidak semua mendapatkannya.
Selain itu, kata dia, untuk mengurus kartu tersebut cukup ribet. Jika ada kecelakaan kerja, penderes harus mengurusnya ke RT, RW, Desa, Kecamatan dan Dinas Sosial. Lalu, penderes harus membuka rekening bank. Kalau ada nama yang tidak sesuai dengan yang tertera di kartu, mereka harus mengurusnya dari awal. “Ini udah mau mati kok ya harus ribet ngurus birokrasi,” katanya.