Purwokertokita.com – Maraknya penyebaran berita bohong atau hoaks akhir-akhir ini semakin meresahkan masyarakat, menurut data Dewan Pers, saat ini ada lebih dari 40.000 situs media abal-abal yang kerap menyebarkan berita palsu.
Hal ini dikemukakan praktisi radio, Errol Jonathas pada Seminar Literasi Media pada rangkaian Pekan Komunikasi Sosial Nasional 2017 Komisi Sosial Konferensi Waligereja Indonesia (Komsos KWI) di Akademi Maritim Nusantara (AMN) Cilacap, Rabu (24/5). Menurut dia, dari data tersebut hanya ada 300 situs yang benar-benar disebut media online.
“Setelah hoaks, sekarang ada fake news atau berita palsu. Ada yang memanfaatkan foto atau gambar yang dipakai untuk berita lain yang tidak benar isinya,” kata Direktur Suara Surabaya ini.
Errol mengatakan, data Kementerian Kominfo bahkan mengindikasikan terdapat 800.000 situs penyebar berita palsu dan ujaran kebencian. Parahnya, Indonesia menjadi negara nomor 1 penghasil serangan cyber, yaitu sekitar 42.000 serangan per hari.
Perilaku digital masyarakat, kata dia, turut menyuburkan peredaran berita palsu tersebut. Potensi kejahatan cyber seperti cyber bullying, prostitusi hingga hoax semakin besar.
“Ada juga yang berprofesi sebagai buzzer. Dulu dipakai kalangan artis yang mulai tidak laku, sekarang digunakan untuk kepentingan politik. Bahkan sekarang ada tim yang namanya cyber army,” ujar Anggota Badan Pengurus Komisi Sosial Konferensi Wali Gereja ini.
Meski demikian, lanjut Errol, internet juga memiliki sisi positif bagi masyarakat. Tahun 2016 lalu, bisnis e-comerce Indonesia mencapai nilai transaksi sebesar 4,89 milyar dollar AS. Data dari Social Research and Monitoring soclab.co menunjukkan, pada 2015 pengguna internet di Indonesia mencapai 93,4 juta dengan 77 persen di antaranya mencari informasi produk dan belanja online.
Sementara itu, Dosen IT dari Universitas Krsiten Duta Wacana Yogyakarta Budi Sutedjo mengatakan, persebaran berita hoaks dan fake news bisa ditangkal dengan literasi. Hal itu bisa didapatkan dari memperkaya bacaan dan informasi.
“literasi media tidak lain merupakan kemampuan pembaca dalam mengidentifikasi kebutuhan akan informasi. Saat ini di media-media atau koran, sering dikatakan literasi pembaca itu rendah, itu artinya kemampuan pembaca mengetahui informasi itu masih rendah. The Worldís Most Literate Nations tahun lalu merilis, Indonesia peringkat 60 dari 61 negara soal literasi,” katanya.
Selain itu, ia menambahkan, literasi media juga berkaitan dengan kemampuan pembaca menelusuri dan mengkritisi informasi, serta menulis kembali informasi.
“Kalau literasi pembaca rendah, amat mudah bagi pembaca dibohongi dengan berita hoax, berita atau informasi yang dibuat seolah-olah benar, seolah-olah meyakinkan,” ujarnya
Pakar Informasi dan Teknologi Richardus Eko Indrajit mengatakan satu-satunya cara untuk menghapus tulisan bernada negatif adalah dengan menulis sebanyak mungkin hal positif di dalam diri, menulis keunggulan yang dimiliki. Richardus menilai, diselenggarakannya Seminar Literasi Media saat ini merupakan kesempatan bagi para mahasiswa-mahasiswi untuk menilai diri terkait bagaimana menggunakan gadget.
“Ingin menaikan literasi media buatlah personal website, pakai blogspot, cari situs gratis dan buat blog, biasakan posting di instagram dan beri kata-kata inspiring, gunakanlah link sebagai sosial media yang dianggap serius, pakai google tes. Foto, tulis dan posting sebanyak-banyaknya di internet, karena yang anda berikan adalah benih-benih yang baik,” ujarnya.