Purwokertokita.com – Sekelompok fotografer berbakat, muda dan berbahaya Banyumas menggelar Pameran Foto dengan tema Ngileng Banyumas. Pameran yang digelar oleh Kelompok Logawa ini menyajikan mozaik Banyumas dalam rangkaian foto cerita.
“Kebutuhan untuk memamerkan karya di media cetak tentu berbeda dengan kebutuhan untuk sebuah pameran foto,” ujar Koordinator Kelompok Logawa, Dian Aprilianingrum, kepada Purwokertokita.com saat pembukaan pameran, Rabu (14/10).
Fotografer harian Suara Merdeka ini melanjutkan, meski bukan tidak mungkin sebuah pameran foto bertujuan komersial. Bagi Kelompok Logawa yang baru berumur seumur jagung, pameran ini ada untuk menunjukkan kontribusi dan eksistensi mereka pada dunia fotografi di Banyumas. Kelompok Logawa merupakan ruang diskusi fotografi yang berkeinginan untuk mengembangkan fotografi dokumenter di wilayah Banyumas.
Masih menurut Dian, pameran “Ngileng Banyumas: Melihat Banyumas Lebih Dalam” ” merupakan kelanjutan dari Logawa Photo Workshop (Editing foto story), workshop intensif selama 4 hari yang diadakan pada 29 Mei -1 Juni 2015 silam.
Pameran yang diikuti 6 fotografer dari berbagai latar belakang ini berusaha merekam 6 kisah yang berbeda di Banyumas. “Kami melihat dari sudut pandang dan pengalaman masing-masing, menuangkannya pada karya foto yang bisa dinikmati lewat cetakan. Dengan menggunakan foto story, kami berusaha bercerita lebih lengkap,” kata Dian berapi-api.
Ia berharap, pameran tersebut dapat menjadi pemicu dan pemantik semangat bagi para fotografer di Banyumas untuk mendokumentasikan cerita keseharian yang lebih beragam.
Berikut kisah tentang hasil jepretan mereka:
Sepasang sepatu boot, salah satunya hanya tersisa sebagian, menjadi “seragam” harian bagi salah seorang pemulung wanita di TPA Gunung Tugel Purwokerto. Sepatu boot yang lain digunakan oleh pemulung laki-laki, tampak relatif utuh. Tidak ada perbedaan jenis sepatu yang digunakan untuk bekerja di TPA, seperti yang acapkali kita temui di tempat lain. Sepatu hanya difungsikan sebagai pelindung kaki, bukan item fashion yang menajamkan perbedaan gender.
Syakib Askar mengungkapkan pandangannya atas kesetaraan gender melalui deretan sepatu dan pemiliknya yang sama-sama bekerja di TPA tersebut.
Esei foto “Setara di Tumpukan Sampah” milik fotografer asal Pemalang ini merupakan salah satu dari koleksi enam fotografer yang mencoba menyorot dinamika kehidupan di Banyumas.
Silahkan simak juga “Cerita Kesetiaan dari Papringan” karya Budi Subarkah yang menegaskan kekuatan cinta dan kepercayaan. Atau “Mematah Gunung Tugel” karya Nugroho Sejati tentang beratnya perjuangan mencari nafkah bagi kaum pinggiran. Masih ada pula “Jejak Samar Pawon” karya Muthia Karima, “Berkah Serayu” karya Mohammad Reza Gemi Omandi dan “Empu Darto Papringan” karya Pandhu Budi yang merekam keseharian dari kondisi yang menghadirkan semangat mengatasi kehidupan
Bertajuk “Ngileng Banyumas: Melihat Banyumas Lebih Dalam”, himpunan opini visual para fotografer ini berupaya menyajikan sisi lain dalam masyarakat. Pameran ini bukan hanya tentang memotret indah secara visual, tapi juga cara pandang enam fotografer mengungkap persoalan.
Aris Andrianto