Hukuman Mati Dinilai Tidak Kurangi Kejahatan

Peristiwa220 Dilihat
Pulau Nusakambangan dilihat dari Dermaga Wijayapura (Ridlo S Balasie/purwokertokita.com)
Pulau Nusakambangan dilihat dari Dermaga Wijayapura (Ridlo S Balasie/purwokertokita.com)

Purwokertokita.com – Kabar pemerintah akan melakukan eksekusi mati kembali mencuat beberapa hari terakhir ini. Padahal, hukuman mati dinilai tidak menurunkan angka kejahatan narkotika.

“Satu tahun paska eksekusi hukuman mati gelombang dua pemerintahan Joko Widodo, ternyata tidak berdampak pada pengurangan angka penyelendupan narkoba ataupun angka penyalahgunaannya,” kata aktivis HAM yang juga sahabat Duo Bali Nine Myuran Sukumaran dan Andrew Chan, Matius Arif Mirdjaja, Selasa (19/4).

Ia mengatakan, menurut data yang diperoleh BNN, periode Mei – Desember 2015, angka penyelundupan justru meningkat signifikan. Dalam periode tersebut BNN menyita 620,345 KG sabu sabu, 235 ganja, dan 580,141 pil ekstasi. Diperkirakan dalam kurun waktu 1 tahun BNN memusnahkan hampir 1 ton narkoba.

Bahkan angka penggunaan narkoba menurut Kepala Badan Narkotika Nasional Budi Waseso, justru meninggkat signifikan dalam periode Juni – November 2015 sebesar 1,7 juta jiwa. Di bulan Juni 2015 angka pengguna sebesar 4.2 juta dan di bulan November 2015 sebesar 5,9 juta.

“Kondisi ini menggambarkan bahwa eksekusi hukuman mati yang digencarkan pemerintah dengan bombastis tidak menimbulkan efek jera kepada para pelaku. Ancaman hukuman maksimal tidak bisa lagi menimbulkan dampak psychologis kepada para pelaku dan pengguna,” katanya menambahkan.

Angka – angka yang muncul adalah puncak gunung es yang terlihat di permukaan, artinya, masalah terbesarnya justru tersembunyi dibawah permukaan. “Apakah ini artinya kita harus membunuh lebih banyak Bandar narkoba? Atau kita bangun lebih banyak penjara? Langkah langkah pemerintah seharusnya tidak berfokus pada upaya fisik saja yang hanya terlihat diluar. Karena bukan seberapa banyak Bandar narkoba yang kita bunuh, dan bukan banyaknya penjara yang kita buat yang bisa mengurangi dan menghentikan bahaya narkoba. Namun sebarapa banyak anak bangsa yang menolak narkoba, seberapa banyak jiwa yang selamat, seberapa benar sipil society kita,” katanya.

Menurut dia, pemerintah seharusnya memindahkan fokus pada upaya membangun langkah – langkah yang lebih preventiv dan humanis bagaimana menekan angka konsumsi narkoba, karena hukum supply and demand berlaku juga pada permasalahan narkoba. Selama pasarnya (permintaannya) besar, maka upaya – upaya penyelundupan pasti akan selalu besar. Judicial corruption juga membuat para para penyelundup berpikir bahwa hukum bisa dibeli, jadi meskipun ada ancaman hukuman mati mereka berfikir bahwa uang masih berkuasa.

“Kita sebagai bangsa tidak mungkin membangun lebih banyak penjara terus menerus ataupun meng eksekusi lebih banyak orang, tapi fokus yang harus kita kerjakan adalah bagaimana kita bisa membenahi masyarakat sipil kita, bagaimana kita gencar melakukan revolusi mental, meMbangun terobosan – terobosan preventive, memberikan edukasi yang lebih maksimal, dan menyelamatkan lebih banyak jiwa,” katanya.

Menurut dia, Indonesia bisa mencotoh banyak Negara yang berhasil memerangi dan mengurangi narkoba tanpa harus membunuh ataupun membangun penjara – penjara. Portugal dan beberapa Negara di eropa telah menerapkannya dan terbilang sangat sukses. “Saatnya kita mengubah perspektive kita dan lebih fokus ke upaya jangka panjang, bukan sekedar bersinetron untuk bargain politik,” katanya.

Tinggalkan Balasan