Dokumen Plandi: Kajian Sosiologis

Lingkungan, Peristiwa247 Dilihat

IMG_6182

Plandi, adalah dusun kecil yang berada di wilayah desa Watuagung kecamatan Tambak Kabupaten Banyumas. Plandi dihuni oleh sekitar 145 jiwa yang hampir seluruhnya beragama Budha. Mata pencaharian mereka adalah berkebun di wana atau hutan dengan menanami kopi, cengkeh, kapulaga, genitri serta beberapa menjadi penderes nira kelapa dan menjadi pennyadap getah pinus di hutan   milik perhutani.

Menurut Darsono (89), warga Plandi yang merupakan orang tertua dan merupakan generasi kedua yang tinggal disana, nama dusun  Plandi sebelumnya adalah Candi, menurut beliau dulunya terdapat candi di daerah tersebut yang berwujud seperti sumur yang saat ini sudah tidak diketahui dimana letaknya. Awal sejarah pemukiman Plandi dimulai sejak tahun 1900an ditandai dengan mulai bermukimnya 4 orang pertama dengan cara membuka hutan mereka adalah Sawintanom (asal Binangun), Wangsasemita (Plandi), Kramanom dan Nawitana (Sumpiuh). Darsono sendiri merupakan generasi kedua dari Wangsa Semita dan Sawintanom nantinya memiliki anak bernama Wartinem yang kemudian menikah dengan Darmo Suwito yang merupakan penyebar agama Budha di dusun Plandi tersebut, ia berasal dari Kebumen dan belajar agama Budha di Buntu, yang kemudian menjadikan seluruh warga Plandi menagnut agama Budha dari yang sebelumnya ialah Islam Kejawen. Penyebaran dan pengajaran tersebut berlangsung hingga sekarang dimana mayoritas atau hampir 98% warga Plandi merupakan Budhis.

Plandi merupakan dusun yang dikelilingi oleh bukit dan hutan milik perhutani yang ditanami dengan Pinus. Sebelum dijadikan hutan Pinus oleh Perhutani, kawasan hutan yang berada disana merupakan hutan tutupan atau penyebutan untuk istilah hutan yang masih alami dengan spesies tanaman yang bervariasi seperti pohon Ares dan Kemukus dan masih banyak lagi. Pohon yang bervariasi tersebut berfungsi menjaga ketersediaan air dan pangan dihutan tersebut.

Pada masa penjajahan Belanda dan Jepang tidak terlalu berpengaruh pada masyarakat Plandi. Penguasaan belanda dan jepang tidak sampai pada penguasaan hutan dengan mengubahnya menjadi hutan produksi. Biasanya di daerah lain, pada saat penguasaan jepang terdapat ciri dimana masyarakat memiliki lubang untuk persembunyian di belakang rumah, akan tetapi hal tersebut tidak terjadi di plandi. Kemudian penguasaan belanda yang masih diingat oleh mbah Darsono, ialah pada saat agresi militer Belanda 1 dan 2 sekitar tahun 1946 – 1949 yang ia menyebutnya dengan “jaman geger”. Menurut beliau Belanda hanya bersembunyi karena sedang geger atau perang dengan pasukan siliwangi di hutan Plandi. Pada saat itu, pasukan siliwangi memakan habis tanamn jagungnya yang siap panen selama masa perang.

Awal pembukaan hutan dilakukan oleh warga yang dilakukan di pinggir-pingir hutan untuk ditanami padi gaga pada tahun 1950an dengan sistem kontrak kepada pemerintah. Pembukaan hutan oleh warga dilandasi  pembukaan yang dilakukan oleh perhutani untuk menjadikan hutan tutupan menjadi hutan produksi yang akan ditanami pinus. Pada tahun-tahun inilah dimulailah penanaman pinus oleh perhutani. Oleh perhutani warga diberikan kesempatan untuk menggarap lahan dengan cara menanam bibit pinus yang sudah disediakan oleh perhutani. Kesempatan ini tidak disia-siakan oleh warga mengingat di dusun Plandi sangat sedikit sekali kepemilikan akan lahan, sehingga dengan menjadi buruh tanam pinus sekaligus menandai luasan garapan lahan selama pinus masih kecil dengan ditanami jagung, albasia, singkong, ubi-ubian dll.

Kawasan kaliori (dulunya merupakan pinggiran hutan) merupakan kawasan yang digunakan untuk menanam padi gaga (padi lahan kering), dulunya sebelum hutan tututpan diubah menjadi hutan produksi, warga plandi masih dapat memproduksi pangannya sendiri berupa beras, meskipun hasilnya tak sebagus padi sawah. Padi gaga membutuhkan waktu enam bulan untuk dapat dipanen, dan hasil panen tersebut mampu mencukupi kebutuhan warga selama enam bulan pula. Untuk menutup kebutuhan pangan enam bulan berikutnya, warga menanam welok (labu sayur), pisang, umbi-umbian yang hasilnya dapat dijual kepasar untuk ditukar dengan beras. Masa tanam padi gaga bagi warga plandi berhenti saat hutan diubah menjadi hutan produksi pinus, tepatnya ketika pinus mulai besar, sekitar tahun 1980-1990an warga plandi sudah tidak dapat menanam padi kembali. Hal serupa juga terjadi pada tanaman pangan lainnya, seperti welok, kacang, jagung dll mulai tidak dapat lagi tumbuh hingga saat ini.Perubahan tersebut terjadi setelah diubahnya hutan tutupan menjadi hutan produksi oleh perhutani.

Kemudian pada tahun 1982 perhutani mengganti pohon pinus generasi pertama. Seperti penanaman yang pertama, warga yang hendak menggarap lahan milik perhutani tersebut harus terlebih dahulu menanam bibit pinus sebanyak yang mereka mampu untuk kemudian luasan yang telah ditanami boleh ditumpangi taanaman  warga.

Memang setelah hutan tutupan berganti menjadi hutan produksi, warga mulai mengganti pula jenis tanaman mereka. Mereka mulai menanam cengkeh, kopi, genitri dan tanaman tahunan lainnya untuk mengimbangi pinus, karena tanaman yang dulunya tumbuh dan berbuah tidak lagi dapat menghasilkan setelah adanya pinus. Akan tetapi masa panen jenis tanaman tersebut tidak menentu mengingat banyak nutrisi yang terserap oleh tanaman pinus, sehingga membuat waktu  panen cengkeh dapat mencapai tiga tahun sekali bahkan pernah lima tahun sekali baru dapat dipanen. Untuk mencukupi kebutuhan warga menyiasati dengan menanam kopi di sela-sela tanaman lain yang bisa dipanen setiap tahun, kapulaga dipekarnagan rumah yang hasilnya mereka dapat jual untuk dibelikan kebutuhan pokok seharihari. Selain itu mereka bekerja sebagai penyadap getah pinus milik perhutani yang setiap 2 minggu sekali mereka setorkan pada mandor dan dihargai Rp. 3000 setiap kilogramnya. Kemudian bagi warga yang menanam kelapa mereka menderes nira kelapa untuk dijadikan gula kelapa.

Perubahan pemenuhan kebutuhan pangan sangat jelas terjadi di masyarakat Plandi, yang dulunya mereka mampu mencukupi kebutuhan pangannya sendiri melalui padi gaga, welok, singkong, umbi-umbian lain, dll saat ini kebutuhan pangan mereka seluruhnya didapat melalui suplai eksternal. Menurut ibu Salinem, untuk memenuhi kebutuhan beras keluarga (4 orang) sebanyak 20kg per bulan, mereka harus membelinya dari pasar. Termasuk sayur, bumbu, lauk pauk dll. Memang menurut beliau sekarang pangan lebih mudah didapat karena tinggal membeli, akan tetapi dari pernyataan beliau menunjukkan bahwa saat ini warga Plandi sudah tidak memiliki kemandirian dibidang pangan. Seluruh kebutuhan pokonya harus didapat dari luar.

Untuk dapat mencukupi kebutuhan terebut, setiap harinya warga pergi bekerja ke hutan, entah menyadap getah bagi yang mengkontrak dengan perhutani, menderes bagi yang memiliki pohon kelapa, memetik kapulaga, merawat cengkeh dan kopi. Hasil dari hutan tersebut mereka olah, cengkeh dapat dipanen 1-3 tahun sekali dan memerlukan pengolahan dengan dijemur selama kurang lebih 5 hari sampai benar-benar kering agar mendapat harga yang lebih tinggi. Tanaman  kopi mampu dipanen setiap tahun, tetapi warga tidak ada yang memiliki kebun dengan jumlah tanaman kopi yang banyak, mereka hanya menanam kopi sebagai sela dengan tanaman lain. Selain yang memiliki kebun mereka bekerja sebagai buruh atau kuli dikota lain. Dari kegiatan tersebut, warga plandi mampu mencukupi kebutuhannya.

Pada bidang sosial, kekeluargaan yang ada saat ini kebanyakan dibangun dengan pernikahan terhadap sesama warga plandi, meskipun saat ini tedapat beberapa yang menikah dengan orang dari daerah lain akan tetapi mayoritas mereka menjaga hubungan dengan sesama warga plandi. Hal ini menyebabkan hubungan yang erat terjalin diantara warga plandi. Kemudian sistem jual beli tanah mereka sampai saat ini memilih untuk menjual kepada keluarga atau sesama warga plandi, itupun harus melalui musyawarah dengan keluarga.

Satu bulan yang lalu tepatnya tanggal 18  juni 2016  dusun yang berada paling tinggi desa Watuagung tersebut terkena bencana longsor yang mengakibatkan beberapa rumah tertimbun, akses jalan terputus dan trauma berkepanjangan bagi anak-anak dan lansia yang ada disana. Longsor tersebut berasal dari bukit  yang mengelilingi dusun Plandi. Hal serupa pernah terjadi pada tahun 198an dimana bukit plandi mengalami longsor akan tetapi tidak menyebabkan korban jiwa dan hanya menyebabkan satu rumah warga rusak ringan. Sepanjang sejarah mereka tinggal di dusun plandi belum pernah mereka melihat peristiwa longsor dan banjir yang cukup besar seperti bulan lalu. Terdapat satu anak berusia enam tahun yang mengaami trauma setelah kejadian longsor yang menimpa rumahnya. Setiap hujan akan turun ia menangis histeris.

Meskipun peristiwa tersebut sudah lewat satu bulan,akan tetapi potensi untuk terjadi longsor kembali sangat besar. Mengingat bukit yang mengelilingi dusun plandi terdapat retakan yang cukup panjang dan bekas longsoran menyebabkan aliran air menjadi tidak beraturan sehingga tanah yang labil dengan dialiri air akan menyebabkan longsor bisa terjadi kapan saja.

Oleh: Luthvera Nur Pramesti

 

Tinggalkan Balasan