Dari Sumpiuh, Perjalanan Tontowi Ahmad Menuju Pemain Kelas Dunia Dimulai

Peristiwa299 Dilihat
Tantowi Ahmad saat diarak keliling kota Purwokerto usai menjadi juara dunia pada 2913 silam. (Uwin Chandra/Purwokertokita.com)
Tantowi Ahmad saat diarak keliling kota Purwokerto usai menjadi juara dunia pada 2913 silam. (Uwin Chandra/Purwokertokita.com)

Purwokertokita.com – Warga Banyumas Jawa Tengah bisa berbangga hati, lantaran putra terbaiknya Tontowi Ahmad berhasil mengharumkan nama Indonesia dalam ajang Olimpiade Rio 2016 di Brazil.

Bersama duetnya di nomor ganda campuran, Liliyana Natsir, Tontowi Ahmad berhasil mempersembahkan medali emas pertama untuk Indonesia di ajang olahraga dunia tersebut usai mengalahkan pasangan ganda campuran asal Malaysia Peng Soon Chan/Liu Ying Goh, straight game 21-14/21-12, Rabu (17/8).

Terharu dan bangga, tentunya tak terkira dari sosok orang tua Tontowi Ahmad, Muhammad Husni dan Masruroh yang menetap di Desa Selandaka, Kecamatan Sumpiuh Banyumas, Jawa Tengah. Bagi mereka berdua, Tontowi Ahmad adalah sosok anak yang lugu dan sekaligus kebanggaan warga Sumpiuh.

Kepada awak media yang datang ke rumahnya, Kamis (18/8), Husni dan Masruroh menceritakan awal perjuangan Tontowi Ahmad menapak langkahnya menjadi pebulutangkis kelas dunia. “Owi (panggilan karib Tontowi Ahmad), saya latih sejak kelas tiga sekolah dasar hingga SMP. Kemudian dia mulai berlatih sendiri di Kemranjen dan terus ke Argo Pantes, Gresik dan Kudus,” ujarnya, Kamis (18/8).

Semasa kecil Tontowi, diakui Husni, anaknya kerap dipaksa berlatih badminton bersamanya. Latihan tersebut dimulai sejak pukul 15.00 hingga pukul 17.00. Butuh kesabaran untuk melatih Tontowi kecil yang saat itu dilatihnya. “Terkadang, malam juga ikut dibawa kemana-mana juga,” seloroh sang ibu, Masruroh.

Perjalanan karir Owi memang tidak bisa dilepaskan dari sang ayah yang juga penghobi sekaligus mantan atlet bulutangkis selagi mahasiswa. Diakuinya, kesukaan bermain bulutangkis tersebut dimulai sejak kecil.

“Kemarin saya sempat matur ke (Ponpes) Gontor untuk menyaksikan anak saya bertanding. Saya kemudian dibilangin ‘kamu dulu jagonya (bulutangkis) Gontor, sekarang anak kamu dijadikan Allah juara dunia,” ujarnya yang pernah menjadi semifinalis kejuaraan bulutangkis mahasiswa se-Yogyakarta pada tahun 1978 silam.

Anugerah tersebut, katanya, semakin lengkap lantaran prestasi dalam olah raga menurun ke cucunya. Diakui Husni, cucunya lebih memiliki bakat bulutangkis dibanding Owi.

“Dulu sewaktu kelas tiga SD, Owi belum berprestasi. Tetapi sekarang, cucu saya (Chelsea Arnia Fauzia) pada usia yang sama sudah muncul bakatnya. Dia berhasil juara di tingkat kabupaten,” ucapnya yang kini mendirikan pelatihan bulutangkis Ragil di Sumpiuh.

Tak hanya keponakan Owi yang muncul bakat pemain besar, namun juga beberapa didikannya di PB Ragil juga sudah mulai dilirik klub-klub besar bulutangkis Indonesia. Selain Chelsea, Husni juga melatih tiga bibit muda pebulutangkis Banyumas.

“Kemarin satu anak akan ikut seleksi PB Djarum, satu lagi juga mau masuk Jaya Raya. Saya berprinsip, melatih sedikit tapi berprestasi jauh lebih baik,” ujarnya yang bercita-cita bisa membuat pusat pelatihan bulutangkis yang lebih besar di Sumpiuh.

Tinggalkan Balasan