Purwokertokita.com – Budayawan Emha Ainun Nadjib meminta masyarakat untuk tidak membenci khilafah. Itu dikemukakannya saat hadir dalam acara ”Sinau Bareng Cak Nun Kiai Kanjeng”, Purwokerto Silver Festival yang digagas Alumni SMAN Negeri I (Smansa) Purwokerto tahun 1992 di Alun-alun Purwokerto, Jumat (5/8) malam.
Menurut dia, Indonesia merupakan bagian dari khilafah. Sebagai warganegara, budayawan yang disapa Cak Nun ini mengaku orang nasionalis. Sehingga merasa wajib untuk membela keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
“Jangan benci khilafah. Khilafah itu dari Allah. Menjadi nasionalis juga tidak bisa ditawar, karena orang Islam wajib membela Republik Indonesia,” katanya saat memberi ceramah di hadapan ribuan warga Banyumas yang hadir malam itu.
Adapun pada gelaran tersebut, hadir Bupati Banyumas, Achmad Husein, seniman dan budayawan Banyumas seperti Titut Edi Purwanto dan Hadiwijaya serta sejumlah pejabat di wilayah Banyumas.
Indonesia sebagai Negara Pancasila dengan lambang Bhinneka Tunggal Ikanya itu merupakan khilafah. Khilafah bisa berbentuk apa saja, baik Republik, Kesultanan maupun Perdikan. Namun, prinsip paling penting yaitu mengamalkan satu sama lain antar manusia, adil satu sama lain antar manusia, sayang satu sama lain antar manusia tidak boleh ditinggalkan.
“Kalau ada orang membunuh yang dibenci, yang salah pisaunya atau orangnya? Nah kalau khilafah? Hayoo.. lak bingung tho,” ledeknya.
Tokoh kharismatik asal Jombang ini juga menyinggung soal hajat suksesi kepemimpinan. Menurut dia, orang Indonesia harus mencari pemimpin yang memiliki kaliber sebagai pemimpin dunia.
Seorang pemimpin harus menjadi pengayom masyarakat seluruh dunia. Serta memiliki pancaran wajah yang memberi rasa aman pada perasaan semua masyarakat di dunia. “Itu ada di antara Anda semua,” ujarnya.
Menurut dia, pertikaian di tengah masyarakat terjadi karena adanya kecemburuan. Kesenjangan antara ”orang yang mampu” dan ”tidak mampu memancing konflik sosial.
“Jangan cemburu ya, sing dadi kadal ra sah cemburu karo tekek, sing dadi tekek ra sah cemburu karo garangan, sing dadi garangan ra sah cemburu karo sing dadi kirik, sing dadi kirik bersyukurlah, ra sah mangkel karo kucing. Begitu ada rasa tidak ikhlas dengan dirimu sendiri, dimulailah pertengkaran di antara manusia. Marilah kita berdiri di tempat takdir kita masing-masing,” tandasnya.
Sementara itu, perwakilan Alumni Smansa Purwokerto tahun 1992, Heru Priyanto mengatakan, pihaknya sengaja mengundang Cak Nun dan Kiai Kanjeng untuk belajar bersama masyarakat tentang nilai keberagaman dan toleransi. Selain memberi ceramah, budayawan nyentrik ini juga mengajak masyarakat menyanyikan shalawat, dan lagu-lagu nasional seperti “Indonesia Raya” dan “Syukur” dengan khidmat. (NS)