Purwokertokita.com – Keindahan Laguna Segara Anakan sudah kondang ke seantero dunia. Tak bisa dipungkiri, ini lah kawasan laguna terlengkap dan terbesar di Asia, dan hanya kalah dari Amazon, surga flora Amerika latin.
Aliran anak sungai pasang surut dan rimbunnya kawasan mangrove menjadi buruan. Keragaman hayatinya mengalahkan kawasan muara yang sama di bumi ini.
Namun siapa sangka, ada kisah pilu yang tak banyak diketahui. Soal, masyarakat Kampung Laut, yang mendiami kawasan ini selama ratusan tahun.
“Ada perubahan mata pencaharian yang sebetulnya tidak dikehendaki oleh masyarakat Kampung Laut. Tapi apa daya, laguna semakin menyempit sehingga ikan susah didapat,” ungkap ketua Forum Warga Kampung Laut, Kustoro.
Kustoro bercerita, ribuan warga Kampunglaut Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah saat ini terpaksa bertani di lahan timbul Laguna Segara Anakan yang masih disengketakan antara warga dengan sejumlah pihak.
Laguna Segara Anakan Semakin Dangkal, Banjir Landa Cilacap
Menurut dia, lahan yang disengketakan tersebut merupakan lahan timbul akibat sedimentasi. Menurut dia, pemerintah hingga saat ini hanya mengakui hak kepemilikan warga atas tanah pekarangan yang ada rumahnya. Sedangkan di luar itu, tanah berada dalam status quo.
“Kemenkumham mengklaim tanah sedimentasi yang menempel ke Pulau Nusakambangan, Perhutani mengklaim tanah timbul mulai dari muara Cibeureum hingga Laguna Segara Anakan, sedangkan Kemendagri dan Pemda menguasai tanah melalui program kawasan konservasi,” ungkapnya.
Padahal, kata Kustoro, sebelum menjadi daratan, wilayah tersebut merupakan ruang budaya perairan atau wilayah tangkap nelayan Kampunglaut.
Kustoro menyebut 60 persen dari sekitar 15 ribu orang di Kampunglaut yang tadinya nelayan terpaksa bertani lantaran hilangnya kawasan tangkapan seiring menyempitnya Laguna Segara Anakan.
“Ya ruang sumberdayanya hilang, ruang hidupnya hilang. Tadinya sumberdaya mereka itu kan kultur nelayan dengan perairan kan? Perairannya sudah hilang menjadi darat, mau tidak mau untuk bertahan hidup mereka harus menyesuaikan dengan perubahan itu,” tuturnya.
Dag Dig Dug, Berperahu di Kawasan Buaya Segara Anakan Beranak
Kustoro menjelaskan 10 tahun terakhir laju penyempitan Laguna Segara Anakan disebabkan sedimentasi semakin parah. Akibat langsung adalah hilangnya habitat ikan, udang dan kepiting yang biasa ditangkap nelayan.
“Terjadi culture shock karena perubahan budaya maritim ke agraris. Tadinya, kami ini kan mengambil apa saja dari laut. Lalu, kami harus mencangkul, mengolah lahan dan menunggu hingga masa panen tiba,” jelasnya.
Dia berharap pemerintah mendukung upaya masyarakat yang tengah berada dalam masa transisi budaya maritim ke budaya agraris. Antara lain, dengan mengakui hak atas tanah yang telah dikelola menjadi lahan pertanian.
“Selama lebih dari 20 tahun masyarakat membuat sawah-sawah baru di atas tanah sedimen Laguna Segara Anakan. Jangan ambil tanah kami,” pungkasnya.