PURWOKERTO KITA. COM, BANJARNEGARA-Pandemi Covid 19 bukan hanya merusak sendiri ekonomi masyarakat. Kesenian dan tradisi lokal pun tak terawat. Hingga kelestariannya terancam. Begitu pun nasib kesenian kuda kepang atau Ebeg dalam istilah Banyumasan.
Di masa pandemi Covid 19, pemerintah membatasi ketat aktivitas masyarakat, termasuk kegiatan seni. Kesenian kuda lumping turut jadi “korban”. Kesenian itu jadi jarang ditampilkan dengan alasan mencegah kerumunan.
Di Kabupaten Banjarnegara, Juni 2021 lalu, kesenian itu sengaja dipentaskan serentak di Kecamatan Madukara. Ini adalah puncak kerinduan para pelaku seni dan masyarakat karena setahun lebih tradisi itu tidak dimainkan. Sayang kegiatan itu lantas dibubarkan polisi hingga pemain dan penonton kocar kacir.
Kejadian itu masih membekas di benak seniman ebeg. Mereka takut untuk kembali menggelar pertunjukan. Padahal, mementaskan kuda lumping adalah bagian dari upaya untuk melestarikan kesenian itu agar tak punah.
Bagaimana mau melestarikan, jika memainkannya saja dilarang dengan alasan pandemi. Jangankan menggelar pentas, untuk sekadar latihan saja mereka tak berani. Ini diakui oleh Slamet, pengurus Paguyuban Seni Ebeg dari Desa Kutayasa, Kecamatan Madukara.
“Kita ikuti aturan pemerintah saja, ” katanya
Slamet tentu tak ingin kejadian pembubaran pentas kuda lumping kembali terjadi. Karena itu, pihaknya memilih bersabar. Meski kerinduan untuk memainkan kesenian itu sudah memuncak.
Ia hanya khawatir, jika kondisi ini berlarut, eksistensi tradisi lokal ini terancam karena tidak ada yang memainkan. Tanpa pentas dan latihan, sulit tradisi ini dilestarikan.
Meski terbiasa memainkan, tanpa latihan, sulit bagi mereka untuk menampilkan kesenian itu secara maksimal.
“Kalau lama gak latihan, bisa lupa gerakannya, ” katanya
Padahal para pelaku seni kuda lumping selama ini sudah berjuang melestarikan kesenian itu. Meski tradisional, kesenian ini kenyataannya masih diminati banyak orang, mulai orang tua hingga anak-anak. Bahkan penari kuda lumping beragam usia, mulai anak-anak, remaja hingga dewasa.
Meski terus digempur budaya pop, mereka tetap memertahankan kesenian itu sebagai kearifan lokal yang tak tergantikan.
“Harapannya pandemi berlalu, sehingga bisa pentas lagi, ” katanya(JAC)