Memaknai Kebebasan Berpendapat di Perguruan Tinggi

Kolom165 Dilihat

edi

Oleh: Edi Santoso

Di kampus, istilah ‘kebebasan’ lekat dengan frase populer ‘kebebasan akademik’ atau ‘kebebasan mimbar akademik’. Jadi sebelum kita bicara makna kebebasan berpendapat secara umum, mari kita urai makna ‘kebebasan akademik’ dan ‘kebebasan mimbar akademik’ terlebih dahulu. Seperti disampaikan mantan Menteri Pendidikan, Prof Fuad Hasan, dalam Dies Natalis Universitas Indonesia ke-56, kebebasan akademik berakar historis pada abad pertengahan. Suatu masa, ketika tafsir kebenaran ditentukan oleh otoritas keagamaan (gereja).

Abad pertengahan ditandai oleh kaidah ‘faith over reason’. Keimanan menentukan rasionalitas, dan bukan sebaliknya. Maka, pendapat-pendapat yang berbeda dengan gereja, meskipun berdasarkan fakta-fakta empiris, menjadi terlarang. Itulah yang terjadi dengan Nicolaus Copernicus (1473-1543)—melalui observasi empirik dan perhitungan Matematika yang cermat, menyatakan bahwa pusat tata surya adalah matahari, bukan bumi (heleocenrism). Sementara, gereja berpendapat sebaliknya, bahwa bumi adalah pusat tata surya (geocentrism). Demi keselamatan dirinya, Copernicus baru menerbitkan tulisannya yang berjudul “De Revolutionibus Orbium Coelestium” sampai hampir 20 tahun kemudian. Gagasan Copernicus yang terlanjur menyebar memakan korban. Seorang pendeta Dominikan yang mengikuti pandangan heleocentris, Gioroano Bruno (1548-1600), dijatuhi hukuman bakar pada tiang pancang. Nasib yang sama dialami oleh filsuf Italia, Lucilio Vanini (1585-1619).

Perbedaan pendapat antara ilmuwan dan agamawan makin sering terjadi, seiring makin kuatnya rasionalisme. Avveroisme menjadi salah satu pemicunya. Avveroisme merujuk pada tokoh Avveroes (Ibnu Rusd) yang berhasil menerjemahkan karya-karya Aristoteles yang terlupakan berabad-abad lamanya. Filsafat Aristoteles menempatkan rasionalitas sebagai pijakan kemajuan umat manusia. Rasionalisme ini menguat hingga mencapai puncaknya pada Renaissance. Perkembangan pesat berbagai disiplin ilmu semakin mendorong perlunya otonomi keilmuan, yang kemudian menuntut otonomi universitas sebagai penyelenggara proses pengembangan ilmu.

Tuntutan itu mulai mendapat tempat di Perancis pada abad ke-12, ketika berdiri pusat-pusat belajar yang menjadi cikal bakal universitas. Seiring perkembangan, para cendekiawan Paris kemudian membentuk sebuah perhimpunan, yakni universitas magistrorum et schofarum. Perhimpunan ini sangat penting artinya dalam sejarah pendidikan tinggi, karena berhasil mendapat pengukuhan statusnya yang otonom berdasarkan dekrit pimpinan tertinggi gereja. Dengan status tersebut badan ini dileluasakan untuk menyelenggarakan kegiatan studi serta pengembangan pemikiran dalam lingkungannya masing-masing. Dari sinilah kebebasan akademik muncul, ketika universitas memiliki otonomi untuk menyelenggarakan segala proses akademik, baik pengajaran maupun penelitian.

Sedangkan istilah ‘mimbar akademik’ datang kemudian, seiring harapan agar orang-orang dalam universitas—dengan prasyarat tertentu, diberi kebebasan untuk menyampaikan pendapat akademiknya. Misalnya, seorang profesor punya otoritas untuk menyamaikan pendapat-pendapat ilmiahnya tanpa intervensi dari manapun. Jadi mimbar akademik ini tak identik dengan mimbar-mimbar bebas atau berbagai bentuk aksi demontrasi di kampus. Contoh-contoh yang terakhir ini merupakan bentuk kebebasan berpendapat secara umum, yang mestinya juga mendapat ruang, tak hanya di kampus, tetapi di manapun, di negara yang mengaku berpaham demokratis.

Lalu, bagaimana dengan fakta-fakta yang menunjukkan pengekangan suara di dalam kampus, seperti pelarangan-pelarangan diskusi atau pengenaan sanksi bagi para aktivis yang vokal dari pejabat kampus setempat? Setidaknya ada tiga aspek yang membuat makna kebebasan berpendapat menjadi redup di kampus: hukum, politik dan budaya. Aspek hukum menyangkut belum adanya aturan definitif dan rinci bagaimana pelaksanaan kebebasan berpendapat di kampus. Absennya aturan membuat kebijakan menjadi lentur, bisa diatur sedemikian rupa untuk kepentingan tertentu. Tanpa aturan yang jelas, advokasi juga sulit dilakukan. Kita mungkin bisa belajar dari kampus-kampus Barat yang hampir semuanya memiliki codes of practice on freedom speech. Melalui aturan, kebebasan dijamin, tetapi juga dipertegas, mana yang tak boleh dilakukan. Memang tak ada kebebasan mutlak, sehingga pada setiap hak termaktub juga tanggung jawab. Hal terlarang biasanya menyangkut pernyataan kebencian (hate speech).

Dari sisi politik, pengekangan kebebasan berpendapat adalah hal lumrah bagi pihak yang berkuasa. Bagi rezim, suara kritis adalah ancaman. Maka, baik di luar atau dalam kampus, karakter kekuasaan selalu berhadapan dengan semangat kebebasan. Atas nama stabilitas atau harmoni, suara-suara kritis pun menjadi absah untuk dibungkam. Sedangkan aspek budaya, berkenaan dengan lemahnya tradisi kita untuk berbeda pendapat. Meski berslogan ‘Bhinneka Tunggal Ika’, kita ternyata terbiasa dalam keseragaman. Kita menikmati posisi ‘mayoritas’ dan membenci, atau setidaknya khawatir, pada mereka yang minoritas. Suara beda, sering buru-buru kita cap sebagai sesat, sempalan, atau gerakan penistaan. Dalam suasana seperti ini, beberapa diskusi atau pemutaran film di kampus mendapatkan lawan dari kelompok-kelompok yang merasa terancam eksistensinya.

Di era keswadayaan, di mana suara publik akan lebih menentukan ketimbang negara sekalipun, gerakan budaya untuk menjaga ‘kebebasan berpendapat’ akan lebih memberikan harapan. Dan kampus, harus memberikan peran yang signifikan. Dari sinilah, kebebasan berpendapat harus mendapat makna kontekstualnya. Seperti dikatakan Fuad Hasan, kebebasan merupakan hak eksistensial. Setiap pribadi adalah kehadiran yang tidak atau belum selesai; setiap eksistensi selalu merupakan keberadaan (being) dalam proses menjadi (becoming). Inilah yang oleh para psikolog dinyatakan sebagai proses aktualisasi-diri dan pengukuhan eksistensi personal. Orang tak hanya perlu bebas dari (freedom from) berbagai intervensi, tetapi juga bebas untuk (freedom to) membuat pilihan-pilihan.

Terlebih jika dikaitkan dengan upaya manusia untuk menemukan kebenaran (truth), maka kebebasan berpendapat adalah pirantinya. Penghargaan pada akal sehat telah membawa peradaban manusia bergerak semaju ini. Tentu, kita tak ingin mundur ke belakang, dengan memberikan otoritas pada sekelompok massa, pejabat, preman, atau ormas untuk mengekang kebebasan kita dalam berpendapat. Namun, tentu saja, tak ada kebebasan mutlak. Selain melindungi kebebasan, hukum dan aturan harus juga memberikan perlindungan pada hak-hak individual yang berdimensi suku, kepercayaan, ras, jenis kelamin, dan lain sebagainya.
***

Tinggalkan Balasan