PURWOKERTOKITA. COM, BANJARNEGARA-Di tengah hawa dingin yang menyergap, suasana rumah Agus, warga Dusun Tlaga Desa Prendengan, Banjarmangu, terasa hangat. Sejumlah pemuda desa duduk berhimpitan di ruang tamu. Meski dengan santai, obrolan mereka cukup serius.
Khoirul, anggota Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Purwokerto membuka ruang diskusi. Ia memantik para pemuda itu untuk bersuara.
Mereka berlatih memetakan persoalan di desa. Tidak ada yang diam di ruang itu, satu persatu dari mereka dipantik menyuarakan pendapatnya. Karena prinsipnya, yang tahu persoalan mereka adalah mereka sendiri. Khoirul hanya memfasilitasi.
Dari diskusi yang hangat itu, mereka menyepakati sebuah isu perlu diangkat dan dicari solusinya bersama. Para pemuda ini rata-rata memiliki kambing, namun tak semuanya punya lahan.
Untuk memenuhi pakan ternak, mereka acap kewalahan, terlebih saat musim kemarau. Padahal kambing harus diberi makan tiap hari, tidak ada kompromi. Semakin banyak kambing yang mereka miliki, kian berat beban mereka untuk mencukupi kebutuhan pakan.
Ini adalah masalah yang perlu diselesaikan. Tapi sulit bagi mereka menyelesaikannya sendiri. Mereka perlu berorganisasi.
Kelompok pemuda yang sudah bosan merantau itu membentuk kelompok ternak.
“Semua pemuda di kelompok ini punya ternak. Mereka juga tani, ” kata Agus
Para pemuda ini masih berusia belasan hingga dua puluh tahun lebih. Ada yang putus sekolah. Sebagian sudah menikah dan memiliki anak.
Mereka sempat merantau ke kota-kota besar. Namun karena tak punya skill cukup dan ijazah yang dibutuhkan, mereka harus terlempar. Jika pun ada kesempatan bekerja, mereka menjadi buruh atau kuli bangunan.
Pekerjaan-pekerjaan kasar itu sulit diandalkan untuk bisa mengubah nasib. Meski tenaga terkuras, tabungan tak pernah terkumpul.
Karenanya Anto dan teman-teman nya memutuskan balik kampung. Jika mau, di desa pun sebenarnya tak kekurangan lahan pekerjaan.
Malah kini ia merasakan lebih nyaman tinggal dan bekerja di desa. Meski nilai upah harian berbeda dengan bekerja di kota, namun ujung-ujungnya hasilnya sama.
Di desa ia tak perlu memikirkan biaya kos, biaya makan di warung, atau lainnya. Sementara di desa ia bisa merasakan udara sehat tiap hari, serta berkumpul dengan keluarga.
“Kalau di Jakarta kerja tok tidak bisa disambi. Di desa bisa merawat lahan dan ternak sendiri, dan masih bisa kerja (buruh tani) kepada pemilik lahan, ” katanya
Mustofa pun sama. Jika dihitung-hitung, penghasilannya saat merantau dan bekerja di desa sama saja ujungnya.
Tapi lebih nyaman tentu bekerja di desa. Ia bisa berkumpul dengan keluarga, serta melakukan aktivitas kepemudaan di desa.
Hanya tantangannya, para pemuda ini masih kesulitan menaikkan kesejahteraan. Penghasilan dari petani atau peternak hanya pas-pasan.
Mereka ingin meningkatkan kesejahteraan namun tak tahu darimana harus memulainya.
Khoirul mengaku pihaknya siap mendampingi pemuda-pemuda penuh semangat itu untuk berkembang. Jika terkendala masalah pakan ternak, pihaknya akan memfasilitasi agar mereka bisa membuat pakan alternatif.
Sehingga mereka tidak tergantung dengan pakan di alam yang kian terbatas seiring terus bertambahnya jumlah ternak.
“Ini baru tahap memetakan masalah. Nanti mereka kita dorong mencari solusi. Lalu ditindaklanjuti menjadi aksi. Harus ada pengawalan dan pendampingan secara berkesinambungan, ” katanya