Buah Perjuangan Panjang, Ekosistem Sungai Urang Banjarnegara Berangsur Pulih

Dari Desa180 Dilihat
Pemancing dapat ikan di sungai Kaliirang Banjarnegara
Seorang warga menunjukkan ikan hasil tebar benih beberapa bulan yang lalu di Kali Urang Desa Prendengan, Kecamatan Banjarmangu, Kabupaten Banjarnegara, Jumat (29/10/2021). Kini benih ikan itu telah tumbuh besar dan ekosistem sungaipun mulai pulih. /Foto: Jack.

PURWOKERTOKITA. COM, BANJARNEGARA-Siapa yang menanam, ia akan menuai hasil. Ikhtiar pemuda karang taruna Desa Prendengan Kecamatan Banjarmangu Banjarnegara dan komunitas mancing Mahseer Adventure kini mulai tampak hasilnya.

Batu Sungai Kali Urang yang mulanya kasar, kini sangat licin ketika tersentuh kulit. Ini petanda bagus tentunya. Bisa jadi, batuan sungai itu licin karena banyak kotoran ikan atau lumut menempel yang menjadi makanan ikan.

Apri, dari Komunitas Mahseer Adventure menilai itu petanda ekosistem sungai yang dulu kondisinya memprihatinkan kini mulai pulih kembali. Banyak ikan di dalamnya.

Berarti apa yang ia dan teman-temannya perjuangkan selama ini ada hasilnya. September 2020 lalu, AJI Purwokerto bersama Purwokerto Kita Media memfasilitasi kegiatan Seminar Merawat Sungai Menjaga Kehidupan di Desa Prendengan, Banjarnegara. Pesertanya komunitas mancing di Banjarnegara, antara lain Mahseer Adventure.

Sejumlah stakeholder diundang untuk menjadi pembicara, yakni dari Dinas Pertanian dan Perikanan Kabupaten Banjarnegara, akademisi Politeknik Banjarnegara, PT Indonesia Power,

AJI Purwokerto mendorong penguatan jurnalisme lingkungan bukan hanya melalui tulisan, namun juga memfasilitasi kegiatan untuk perbaikan lingkungan.  Setelah  kegiatan itu, mereka menebar benih puluhan ribu di Sungai Kali Urang yang kondisinya memprihatinkan.

Acara itu tidak sekadar seremonial. Habis menebar, mereka berbagi peran. Benih ikan yang ditabur benar-benar dijaga. Termasuk bibit-bibit tanaman keras yang ditanam di pinggir kali.

Mereka membuat kesepakatan bersama. Selama enam bulan ke depan, tidak boleh ada aktivitas penangkapan ikan, termasuk dengan cara memancing sekalipun.

Untuk memperkuat payung hukum, mereka mendorong agar ada Peraturan Desa untuk menjaga sungai dari ancaman kerusakan. Terlebih dengan cara yang merusak lingkungan, semisal setrum atau diobat.

“Ikannya biar besar dulu, kalau sudah enam bulan baru boleh dipancing, ” katanya

Delapan bulan kemudian, warga kembali turun ke sungai. Mereka telah diperbolehkan memancing di sungai.

Apri kaget melihat kondisi sungai telah berubah di banding delapan bulan sebelumnya. Sebagai pemancing yang kerap beraktifitas di sungai, ia mudah membandingkannya.

Dulu batuan di sungai itu kasap ketika dipijak. Kini telah berubah licin yang menandakan ada banyak ikan di sekitarnya. Air sungai kerap berkecipak karena gerakan ikan yang naik ke permukaan.

Ia pun membuktikannya sendiri.  Apri dan teman-temannya lebih mudah mendapatkan ikan di sungai itu ketimbang dulu.

“” Besarnya ikan sudah sebesar empat jari, “katanya

Gerakan ini terus digaungkan. Bukan hanya Kali Urang, sungai-sungai lain di Banjarnegara pun menjadi sasaran penebaran benih.

Mereka serius mengawalnya sampai ikan tumbuh besar. Selain sepakat enam bulan libur memancing, mereka memasang banner di sisi sungai untuk mencegah penangkapan ikan dengan cara merusak.
Bibit-bibit tanaman keras ditanam di daratan sungai untuk menjaga ekosistem sungai.

Divisi Advokasi dan Pemberdayaan AJI Purwokerto Khoirul Muzakki mengatakan, kegiatan konservasi itu tidak sebatas menjaga populasi ikan.

Ikan adalah bagian dari mata rantai ekosistem sungai. Dari menjaga populasi ikan, warga akan terdorong menanam tanaman keras di tepian sungai untuk mengurangi risiko erosi.

Air yang banyak mengandung kotoran ikan juga menjadi pupuk alami untuk lahan pertanian warga di sekitar sungai.

Ia pun berharap gerakan ini bisa dilakukan lebih masif bukan hanya di satu titik, namun di sepanjang aliran sungai. Jika warga di hulu sampai hilir sungai memiliki kesadaran sama, bukan hanya ekosistem sungai yang terjaga.  Masyarakat bisa terhindar dari ancaman bencana alam semisal banjir dan erosi.

Jurnalisme Lingkungan, menurut dia, bukan terhenti pada produk jurnalistik yang dihasilkan. Pihaknya juga melakukan edukasi dan pendampingan agar perubahan yang diharapkan bisa lebih optimal.

“Jurnalis harus membumi. Karena tidak semua warga, khususnya di desa bisa mengakses berita yang kita produksi. Padahal mereka punya hak untuk mengakses informasi, ” katanya

 

Tinggalkan Balasan