Melestarikan Tradisi Menulis Bagi Santri Lewat Cerpen

Ragam224 Dilihat
Peluncuran buku kumpulan cerita pendek karya santri yang digelar oleh Pesantren Mahasiswa An Najah di Auditorium IAIN Purwokerto, Senin (22/10). (NS/Purwokertokita.com)

Purwokertokita.com – Kumpulan cerita pendek (Cerpen) bertajuk “Sundul Langit: Cerita Inspiratif dari Pesantren” diluncurkan di Auditorium IAIN Purwokerto, Senin (22/10). Buku setebal 406 halaman tersebut merupakan hasil seleksi lomba penulisan cerita pendek bertajuk “Pesantren Menulis 4” yang digelar Pesantren Mahasiswa An Najah.

Cerita pendek yang ditulis oleh para santri, sebagian besar merupakan pengalaman pribadi. Beberapa karya bahkan menggunakan bahasa yang puitis.

Pengasuh Pesantren Mahasiswa An Najah, KH Dr Mohammad Roqib MA mengatakan, peluncuran kumpulan cerpen ini menjadi inspirasi bagi para santri untuk melestarikan tradisi menulis. Sekaligus menyumbangkan pemikiran dan mengembalikan semangat para santri yang telah melahirkan banyak penulis dan pemikir Islam.

Menurut Raqib, buku tersebut merupakan hasil dari lomba cerpen yang diikuti 950 peserta. Karya mereka dipilih menjadi 30 nominator karya terbaik.

“Nominator cerita pendek ini lalu dibukukan dan diolah oleh panitia. Ditambah dengan empat cerita pendek dari penulis tamu seperti Matroni Muserang, Raedu Basha, Sulfiza Ariska dan saya sendiri,” kata dia.

Saat simposium dan bedah kumpulan cerpen tersebut, penulis novel “Dilan 1990”, Pidi Baiq memotivasi para penulis muda. Dia mengaku gemar menulis cerita untuk mengisi waktu senggang.

“Menulis itu membantu saya untuk mengingat. Waktu membuat kita lupa, dengan menulis membuat kita selalu ingat,” ujar Pidi Baiq.

Menurut Pidi, sebelumnya dirinya tidak pernah tahu apa itu novel. Ketika menulis cerita “Dilan”, dia mengaku hanya menulis di blog, lalu diminta oleh penerbit. Saat itulah Pidi baru tahu yang dia tulis adalah novel.

Musikus ini juga terkejut saat mendapat penghargaan Anugerah Buku Fiksi Terbaik ASEAN 2018 di Malaysia. Dia pun mengaku tidak hadir pada saat penyerahan penghargaan.

“Saya tidak datang karena saya merasa tugas saya selesai. Cukup karya saya saja yang ada ke sana,” katanya.

Sementara itu, budayawan dan novelis Banyumas, Ahmad Tohari mengatakan, sastra merupakan hal yang sederhana dan tidak neko-neko. Oleh karena itu, sastrawan harus jujur, mengalir saat menulis dan ikhlas dalam berkarya.

“Sastra itu lahir atas permintaan alam itu sendiri. Tidak bicara target honor dan terkenal. Sastra harus jujur,” tandasnya.

Adapun Pesantren Menulis 4 yang diselenggarakan 20-22 Oktober ini digelar dalam rangkaian peringatan Hari Santri Nasional yang menjadi upaya untuk mengembalikan tradisi menulis di kalangan santri. Kegiatan ini juga dimeriahkan pentas seni budaya serta Lomba Baca Puisi se Jawa Bali.

Pada Lomba Penulisan Cerita Pendek, Dewan Juri yang terdiri dari Abdul Azis Rasjid (esais), Ahmad Tohari (budayawan) dan Abdul Wachid BS (sastrawan) memilih 5 cerita terbaik. Di antaranya “Kesaksian Benda-benda” karya Irwan Segara (Yogyakarta), “Bekas Tanaman Kencur” karya Muhammad Ibrahim (Medan), “Sepotong Roti dan Sebilah Pisau Sepanas Dada” karya Aksan Taqwin Embe (Banten), “Anak Ku Tak Boleh Jadi Bidadari” karya Andi Makkaraja (Bulukumba) dan “Otak Tumpul Mereka Pasti Tidak Akan Percaya Terhadap Karamah Lelaki Kencana” karya Teguh Dewangga (Malang). (NS/YS)

Tinggalkan Balasan