Ruwat Mata Air, Titut Ajak Masyarakat Bercermin pada Alam

Lingkungan244 Dilihat
Titut Edi Purwanto, seniman dari Padepokan Cowong Sewu, mengajak masyarakat Banyumas untuk peduli pada alam dengan menggelar ritual “Banyu Suci Handayani”, Sabtu (25/03). (Yudi Setiyadi/Purwokertokita.com)

Purwokertokita.com – Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) di Gunung Slamet, berdampak pada keruhnya air sungai belasan desa di Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah. Kejadian ini mengundang keprihatinan banyak pihak.

Titut Edi Purwanto, seniman dari Padepokan Cowong Sewu, mengajak masyarakat Banyumas untuk peduli pada alam dengan menggelar ritual “Banyu Suci Handayani”. Ritual yang dilaksanakan pada Sabtu (25/03) ini, merupakan ruwatan sumber mata air yang bertujuan untuk mengingatkan masyarakat agar bercermin pada alam.

“Pada masa lampau sebelum ada cermin, manusia bercermin dengan menggunakan air. Air menjadi cerminan perilaku baik dan buruknya manusia, jika air sudah menjadi keruh, maka manusia sudah tidak bisa bercermin lagi,” ungkap Titut.

Dalam ritual ini, Titut membawa cermin serta bubur merah dan putih saat melakukan ruwatan di tengah bukit di antara aliran mata air Tuk Siluman di sisi barat Curug Cipendok. Cermin melambangkan kejernihan air. Sedangkan bubur merah dan putih merupakan simbol keberkahan yang dibawa alam.

Menurut Titut, keruhnya air sungai belasan desa di Banyumas mencerminkan ketamakan manusia dalam memanfaatkan alamnya. “Air sungai yang keruh mencerminkan sifat tamak manusia yang tidak bisa menjaga mandat Tuhan untuk menjaga alam,” ujarnya.

Menanggapi tentang proyek pembangunan PLTP di Gunung Slamet yang masih akan terus berlanjut, Titut mengajak masyarakat untuk mempertimbangkannya.

“Semua orang butuh listrik, semua orang butuh air, tapi kita harus mempertimbangkan lebih penting mana air atau listrik untuk kehidupan kita?,” tuturnya.

Baca juga : Ada Air Mata di Mata Air Kami

Tinggalkan Balasan