Purwokertokita.com – Tepat hari ini, 18 Agustus 2016, dua bulan lalu Desa Watuagung Tambak dilanda bencana tanah longsor. Mungin kebanyakan dari kita sudah melupakan kejadian itu. Kembali pada rutinitas harian.
Berbagai perbaikan sarana fisik sudah dilakukan. Meski belum semuanya, tapi semangat warga setempat untuk bangkit sangat terlihat.
Ada sejumlah pekerjaan rumah yang belum selesai. Terutama soal kepastian 15 kepala keluarga yang hendak direlokasi ke tempat yang lebih aman. Ditambah lagi beberapa rumah di Karangjambe dan Plawetan yang tampaknya juga harus dirrelokasi, menyusul longsoran tebing yang terus menimbun rumah mereka.
Sejumlah fasilitas umum juga sudah mulai diperbaiki, meski terkesan lambat. Namun, masih ada sejumlah jembatan, jalan penghubung antardukuh dan bak penampungan air bersih yang hilang diterjang longsor, mendesak untuk diperbaiki.
Di tengah masih terkatung-katungnya warga yang hendak direlokasi, pada 17 Agustus 2016, seluruh warga Dusun Plandi berkumpul untuk mensyukuri berkah kemerdekaan. Meski mereka masih dihinggapi ketakutan akan datangnya longsor susulan, sejenak mereka merdeka dari ketakutan dengan mengadakan sebuah pesta kecil.
Lebih tepatnya, setengah merdeka dari rasa takut. Sepertinya semesta mendukung. Hujan yang setiap hari turun, siang hingga malam hari tak turun di Plandi.
Pesta kecil di Plandi ini merupakan pengingat, bahwa kita masih hidup di Indonesia. Tak banyak kemewahan yang mereka terima dari Indonesia, tapi apapun itu, harus disyukuri.
“Meski kami setiap hari harus ketakutan karena ancaman longsor susulan, hari ini kami tetap berbahagia. Sejenak melupakan ketakutan itu,” ujar Salinem, sesaat sebelum saya pamit meninggalkan rumahnya untuk kembali ke Purwokerto.
Pagi itu, ada secercah senyum darinya. Sebuah senyuman untuk kembali bangkit. Senyum itu manis, semanis kopi hitam racikannya dan mendoan hangat, sehangat sambutannya kepada kami.