Dokumen Plandi: Respon Tanggap Darurat

Lingkungan, Peristiwa297 Dilihat

KRONOLOGI dan RESUME

TANGGAP DARURAT TCC KRISIS CENTER TAMBAK

terhadap BENCANA BANJIR dan LONGSOR DI KECAMATAN TAMBAK

Jl. Raya Baturaden, Pabuaran No 1.

Purwokerto Utara Banyumas

 

KRONOLOGI dan AKSI TANGGAP DARURAT

Pada tanggal 19 juni 2016 pukul 19:35 Komunitas Kedai Kopikup yang berlokasi di eks kedai TELAPAK Pabuaran yang terdiri dari Mapala yang tergabung dalam FORDIK, Pewarta AJI dan Pegiat Lingkungan hidup KOMPLEET menerima informasi telah terjadi bencana banjir besar yang melanda beberapa desa di Kecamatan Sumpiuh dan Kecamatan Tambak. Selain bencana banjir yang melanda beberapa desa di dataran rendah tersebut juga didapatkan informasi tentang bencana tanah longsor melanda wilayah perbukitan di kecamatan tambak. Komunitas kedai kemudian mengirimkan dua orang untuk melakukan observasi singkat pada beberapa wilayah tercampak bencana dan juga mengumpulkan informasi dari posko bencana yang sudah didirikan oleh Tagana di Selandaka. Catatan posko di Selandaka kejadian bencana Longsor di Watuagung terjadi pada tanggal 18 Juni 2016 sekitar pukul 17:00 wib.

Komunitas kedai juga mengasesment singkat wilayah terdampak bencana banjir pada kecamatan sumpiuh dan kecamatan Tambak secara langsung di lapangan dan pada beberapa posko untuk mendapatkan informasi lebih detail tentang dampak yang timbul dari beberapa bencana dalam waktu yang hampir bersamaan. Pada observasi ke dua yang dilakukan oleh beberapa relawan “komunitas kedai” didapatkan informasi bahwa wilayah terdampak banjir di Kecamatan Tambak dan kecamatan sumpiuh sudah mendapatkan respon oleh sebagian besar pegiat kebencanaan dan para pihak yang peduli dengan bencana. Beberapa usulan dalam koordinasi di hari pasca bencana berusaha memperdalam informasi yang didapatkan relawan yang dikirim pertama kali untuk mendapatkan deskripsi lebih jauh tentang bencana longsor di desa Watuagung dengan kondisi beberapa grumbulnya masih terisolir. Desa Watuagung kemudian menjadi prioritas komunitas kedai yang kemudian membentuk TCC (Tambak Crisis Centre) untuk lebih fokus merespon kondisi Watuagung yang TCC nilai lebih mendesak untuk mendapat bantuan.

Fokus respon TCC kepada Watuagung ini dipilih karena desa tersebut sampai hari ke dua masih terisolir dan kondisi medan perbukitannya yang sulit untuk diakses oleh pihak yang akan mngirim bantuan, target TCC adalah membuka isolasi desa Watuagung dan mencoba membuat perhatian publik yang akan mengirimkan bantuan langsung kepada Watuagung karena wilayah Kecamatan Tambak dan Sumpiuh sudah terlalu banyak menumpuk logistik kebencanaan yang layaknya sebagian dapat terdistribusikan pada warga desa watuagung yang membutuhkan, utamanya grumbul Plandi, Kedungeyang dan Karangjambe.

Asesment kedua dan ketiga kemudian dilakukan untuk coba mencapai Plandi dan berusaha mendapatkan data dan kondisi grumbul paling terahir dari desa Watuagung. Di Balai desa Watuagung sudah didirikan posko tanggap darurat kerjasama PMI dan relawan Mahameru. Beberapa logistik sudah didistribusikan langsung ke posko Watuagung tersebuat antara lain sudah tersalur ke grumbul Karangjambe dan beberapa grumbul lain yang aksesnya masih terbuka dan kebutuhannya langsung dapat diketahui, namun posko ini juga belum dapat menjangkau grumbul Plandi dan Kedungeyang.

Korban jiwa di Watuagung 1 orang, Sumini sekitar 60 tahun, Rt 07 Rw 03 Perempuan pencari kayu bakar di kebun yang meninggal dalam perjalanan pulang dia ditemukan di sekitar material longsoran. Puluhan rumah di Karangjambe gelap gulita (karena mikrohidro terbawa arus banjir) sebagian mengalami rusak ringan dan berat. Di dusun Plandi total ada 8 rumah rusak, 3 rumah terkena longsoran dan rusak berat, dan di Grumbul Kedung eyang juga sempat terisolir dan membutuhkan bantuan yang belum teridentifikasi namun tidak separah di Plandi.

TCC kemudian merubah fokus bantuan kepada dua hal, yang pertama adalah membuka isolasi grumbul Plandi sambil membawa bantuan yang sekiranya dibutuhkan oleh warga yang terisolir di grumbul tersebut, agar pemberi bantuan lain dapat mengirimkan bantuan langsung ke grumbul tersebut. Tahapan kedua TCC adalah merespon grumbul lain yang disinyalir membutuhkan bantuan juga, yaitu grumbul kedung eyang. Dalam melakukan tahapan tersebut TCC mencoba menggalang bantuan dari pihak yang peduli sebanyak-banyaknya, baik berupa bantuan materiil, hingga bantuan berupa tenaga dan peralatan untuk membuka isolasi grumbul plandi.

Strategi yang dilakukan oleh TCC adalah memperkuat data tentang kondisi wilayah desa Watuagung dan mempublikasikanyya di media massa dan jejaring sosial untuk mendapatkan bantuan dan suport sebesar besarnya bagi Plandi dan Watuagung. Untuk itu asesment pada beberapa wilayah terdampak tanah longsor di Watuagung tetap dilakukan sembari mencoba mencari jalur lain menuju Plandi meski harus memutar dari desa dan kecamatan lain. TCC ahirnya mendapatkan akses langsung ke Plandi lewat desa Gumelem Kulon, Kabupaten Banjarnegara. Informasi yang didapatkan relawan TCC satu-satunya akses yang masih terbuka ke Plandi adalah pada titik temu perbatasan 3 kabupaten Banjarnegara, Banyumas dan Kebumen, meski kondisi jalan di wilayah itu masih berupa jalan telasah dan dengan banyak material longsoran kecil yang juga menutup jalan. Beberapa bantuan dari masyarakat banjarnegara juga ternyata sudah disalurkan ke dusun Plandi lewat jalan tersebut.

 

Setelah mendapatkan akses memutar ke grumbul Plandi maka asessment mendalam bisa dilakukan pada wilayah tersebut. Temuannya adalah dua wanita hamil yang mendekati masa melahirkan dan tidak mendapat bantuan yang khusus untuk persalinan dan tenaga medis, juga seorang lansia yang shock dan tidak mau makan, dengan kesehatan semakin memburuk. Dua ibu hamil 4 bulan (satimi 25th ) ibu hamil 7 Bulan ibu danianti berada di Plandi dengan kondisi sehat namun tertutup dari akses kesehatan yang layak bagi ibu hamil yang mempunyai kebutuhan khusus. Kemudian pada hari berikutnya TCC mencoba merespon dengan publikasi besar besara ke media sosial dan mencoba mendorong pemerintah segera meresponsnya dengan layak.

Pemukiman di wilayah Plandi sudah turun sebanyak 1 meter dari kondisi awal sebelum terjadinya longsor itu adalah informasi awal yang muncul dari seorang mantri hutan setempat. Informasi lain yang berkaitan dengan pemetaan ancaman adalah disekitar perbukitan yang mengitari grumbul Plandi ada banyak retakan yang sebelumnya sudah diidentifkasi oleh mantri hutan yang sama. Retakan tersebut adalah ciri ancaman tanah longsor yang jumlahnya semakin menyebar di beberapa punggungan bukit disekitar plandi.

Kajian mendalam akan wilayah Watuagung dan Plandi TCC mintakan bantuan dari seorang geolog unsoed yang pernah melakukan kajian terhadap wilayah Watuagung khususnya grumbul Plandi. TCC kemudian mendapatkan masukan yang bersifat ilmiah tentang gambaran wilayah tersebut dan mencoba memetakan ancaman yang tersebar di wilayah Plandi dengan tetap mencoba melakukan fokus untuk membuka isolasi plandi dari arah pusat desa Watuagung agar bantuan lebih cepat sampai. Strategi TCC kemudian mendorong secepatnya pembukaan isolasi Plandi dari arah Watuagung dengan pengerahan bantuan relawan komunitas Off road, komunitas pecinta alam yang tergabung dalam FORDIK, dari UBALOKA, TNI dari kodim, Bhineka Ceria, bem Fisip, Komunitas mahasiswa Transmigran, dan sebaginya. Selama dua hari TCC dan relawan dari berbagai elemen masyarakat yang menyumbang tenaga, pikiran, materi berusaha membuka akses ke wilayah terisolir. Plandi dan kedung eyang idealnya jika sejak hari kedua bencana dibantu pembukaan aksesnya oleh alat berat tidak akan berlarut larut dan covering area yang mampu direspon bantuan oleh TCC dan para relawan akan lebih luas.

Selain itu kekuatan opini yang dibangun lewat media massa dan jejaring sosialnya TCC mencoba menekan pemerintah daerah untuk jauh lebih serius merespon kebutuhan desa Watuagung terutama dalam membuka jalur kearah Plandi dengan meminta mengirimkan alat berat juga bantuan khusus kepada ibu hamil dan manula juga kelompok rentan lain di plandi. Sebagian besar sumberdaya TCC dipergunakan untuk membuka jalur yang tertutup kearah plandi sudah mebuahkan hasil dengan akses yang memungkinkan bagi sepeda motor off road yang sebelumnya sama sekali tidak dapat menjangkau daerah tersebut.

Untuk menjaga keamanan para relawan yang membantu TCC dalam mengumpulkan data dan merespon kebutuhan plandi, TCC mencoba membuat posko pantauan di wilayah perbatasan banjarnegara dan banyumas. Di posko yang diperuntukkan pemantauan tersebut kondisi wilayahnya aman dari ancaman tanah longsor dan juga mudah untuk memantau kondisi plandi yang letaknya dibawah. Langkah ini diambil untuk mengantisipasi longsor susulan karena pada beberapa hari hujan gerimis, hingga hujan sangat lebat masih mengguyur desa Watuagung.

 

Dusun atau grumbul Plandi dan kerusakan yang terjadi:

Jumlah KK 43 rumah tangga dengan 33 Rumah dan 143 Jiwa, dengan total 8 rumah rusak, antara lain terdiri dari 3 rumah roboh, 1 rumah habis terbawa longsoran, dan 4 rumah rusak sedang hingga ringan. Selain itu jalan lingkungan antar perumahan dan jalan yang menghubungkan plandi dengan pusat desa rusak parah.

Hingga hari ke terahir respon ke Plandi kelompok rentan di sana antara lain :

  1. Manula : 14 orang, Satu orang mengalami shock
  2. Anak-anak : 28 Orang diatas 5 tahun hingga usia SMP
  3. Bayi dan balita : 5 orang dari usia 1,5 tahun hingga 5 taun.
  4. Ibu hamil : dua orang dengan kondisi kehamilan sehat namun satu orang diprediksi siap melahirkan dalam minggu ini.

Kedung eyang yang berada dibawah Bukit Mahameru juga wilayah yang mengalami longsoran tanah dan juga beberapa kerusakan jalan dan rumah, namun pendataan di daerah ini memang tidak di dorong begitu intens karena akses pada daerah ini lebih cepat terbuka sejak awal, meskipun wilayah ini disinyalir memiliki ancaman yang hampir sama dengan plandi menurut hasil kajian geolog Unsoed. Hasil pembicaraan dengan geolog unsoed (26 Juni 2016) yang pernah melakukan penelitian di Watuagung dan penilaian atas kondisi Plandi adalah sebagai berikut :

  1. Seluruh wilayah dusun plandi masuk kategori berisiko tinggi karena secara kajian geologis berbagai aspek yang ada pada wilayah tersebut menyumbang pada ketidakstabilan kondisi kawasan plandi dan sekitarnya. Aspek kemiringan lereng yang ada, formasi batuan yang sudah mengalami perubahan hidrotermal, pelapukan permukaan hingga kondisi vegetasi yang ada pada daerah tersebut sangat berperan dalam memicu gerakan tanah atau menjadi ancaman bencana tanah longsor.
  2. Permukaan tanah secara menyeluruh sudah turun 1 meter dari kondisi awal pra bencana dan curah hujan sedikit saja akan cukup untuk memicu terjadinya tanah longsor.
  3. Pilihan yang paling rasional bagi dusun Plandi dan seluruh kawasan berisiko tinggi tersebut termasuk posko pengungsian, adalah relokasi sebanyak 43 KK 144 Jiwa ke daerah yang lebih stabil.

Hingga hari ketujuh sejak respon yang dilakukan TCC terhadap watuagung khususnya Plandi adalah terbukanya informasi atas akses dari Gumelem Kulon dan bantuan yg tersalurkan melewati Gumelem oleh pemberi bantuan lain yang tidak tergabung dalam TCC. Bantuan dari pihak pembina umat budha yang mencukupi kebutuhan logistik ke wilayah tersebut juga sudah masuk. Sementara ini kondisi plandi dalam aspek kekurangan bahan pangan dan sandang telah terpenuhi, kecuali perlakuan khusus yang seharusnya diberikan kepada ibu hamil yang selama ini belum ada kejelasannya dari pihak pemerintah daerah atau pun pihak non pemerintah. Akses plandi dari pusat desa Watuagung masih hanya dimungkinkan dengan kendaraan off road roda, dan sebagai catatan daerah ini masih merupakan wilayah terancam bencana tanah longsor dalam sebuah zona yang amat luas, hingga ke grumbul Plawetan dan Siwarak.

 

RESUME atas BENCANA TAMBAK dan KAWASAN SEKITARNYA

Masyarakat plandi ternyata telah mengetahui dan memahami bahwa wilayah yang mereka huni merupakan zona bahaya tanah longsor dan sudah membangun sistem sederhana untuk mengungsikan masyarakatnya dan membaca perubahan kondisi alam. Masyarakat plandi mengharapkan ada realisasi rencana relokasi yang sudah pernah dikonsultasikan dengan pemerintah.

Relokasi ini tidak direalisasikan karena permasalahan antar stake holder yang terlibat yaitu Perhutani, BPBD, Pemerintah daerah, Bapeda dan DPRD. Artinya hingga saaat inipun pemerintah daerah baru merespon plandi dan kawasan tapal kuda rawan bencana ini dari sudut pandang respon atas jatuhnya korban, bukan dalam kerangka meminimalisir dan mencegah korban. Bahkan dalam aspek paling mendasar untuk membuka akses ke beberapa wilayah terisolir pun pemerintah melalui BPBD tidak melakukan dengan semestinya. Itu adalah catatan terpenting dalam respon yang dilakukan oleh TCC.

Jatuhnya satu orang korban jiwa bukanlah hal yang sederhana dan angka yang kecil dalam statistik, dari sudut pandang kemanusiaan setiap jiwa layak diselamatkan. Ancaman dalam kawasan masih ada dan setiap saat bisa datang menjadi bencana pada 43 KK 143 jiwa di Plandi, Di kedungeyang 44 KK …..Jiwa, juga Plawetan dan Siwarak, sekitar 1400 jiwa menghuni wilayah tersebut. Seharusnya ancaman dapat dihindari dan korban dapat diminimalisir, itu adalah prinsip dasar manajemen bencana sesuai amanat uu kebencanaan yang menjadi tanggung jawab BPBD Banyumas.

Dalam sebuah sudut pandang yang lebih luas lagi, kawasan Plandi, Kedungeyang dan bukit mahameru menjadi sumber mata air bagi wilayah tambak dan sekitarnya. Seharusnya pemerintah memandang sampai sejauh itu untuk merespon perbaikan kawasan tapal kuda Plandi dan Kedungeyang, juga penyelamatan warga yang menghuni wilayah tersebut. Penyelamatan kawasan tersebut juga penting secara langsung bagi warga tambak yang tinggal didataran rendah karena dari sanalah beberapa aliran sungai berawal sebagai rembesan mata air, yang bisa saja sekejap berubah dari potensi menjadi bencana.

 

Rekomendasi Khusus untuk BPBD Banyumas:

  1. TCC memandang selama respon kedaruratan bencana longsor Tambak, BPBD Banyumas tidak berfungsi. Manajemen bencana tidak berjalan dengan baik. Koordinasi dengan instansi lain macet.
  2. Lambatnya semua respon yang sangat dibutuhkan saat bencana menjadikan terlantarnya pengungsi selama beberapa hari sejak bencana terjadi. Terlalu lamanya pengambilan keputusan membuat mobilisasi bantuan menjadi sangat lambat yang pada akhirnya semakin membuat pengungsi menderita.
  3. Pemotongan akses yang dilakukan terhadap instansi lain yang hendak membantu pengungsi membuat ketidakpastian dalam penanganan yang dibutuhkan pengungsi.
  4. BPBD sebagai pemegang otoritas kebencanaan seharusnya bisa menggerakkan seluruh potensi di daerah termasuk mengkoordinir forum komunikasi pimpinan daerah. Dan hal ini tidak terjadi.
  5. BPBD perlu dirombak total baik dari segi struktural maupun konsep menangani bencana.

Tinggalkan Balasan