Purwokertokita.com – Jika anda sering berpergian melewati kawasan perbukitan Krumput Banyumas yang rindang dengan pepohonan, tentunya akan teringat mitos-mitos mistis di wilayah tersebut. Tetapi, tulisan ini bukan tentang cerita mitos seputar kebun krumput.
Warga Banyumas sejatinya bisa berbangga hati, lantaran hasil buminya yang berada di Kebun Krumput dibawah pengelolaan PT Perkebunan Nusantara (PTPN) IX, kini menjadi bahan baku merek ban internasional, Michelin. Perusahaan ban yang bermarkas di Perancis tersebut menggunakan RSS atau Ribbed Smoked Sheet olahan karet Kebun Krumput.
“Sudah tiga tahun terakhir, RSS hasil dari Kebun Krumput dipasok ke Perusahaan Michelin di Eropa,” kata Administratur Kebun Krumput PTPN IX, Budiyono.
Ia mengatakan, hasil olahan tersebut berasal dari lahan seluas 2.051 hektare yang terbagi menjadi tiga afdeling, yakni Afdeling Kubangkangkung di Cilacap, Tumiyang dan Krumput di Banyumas.
Tanaman karet yang ditanam di wilayah Krumput merupakan Hevea braziliensis. Dari luas lahan tersebut, dapat menghasilkan 1.600 ton per tahunnya. “Sekitar 85 persennya kami kirim ke Michelin, sedangkan sisanya untuk pasar lokal,” ucapnya.
Diakui Budiyono, untuk menembus pasar Prancis, kualitas lateks harus mendapatkan pengakuan standard yang diberlakukan. Standar kualitas tersebut berdasar pada Societe Des Matieres Premieres Tropicales (SMPT).
“Kami pertama kali memulainya dengan menerapkan SNI (standar nasional Indonesia) dalam menjamin mutu produk dan sistem manajemen lingkungan untuk pengolahan limbahnya,” ujarnya.
Diakuinya, prestasi tersebut cukup membanggakan, mengingat selama ini perkebunan karet di Pulau Jawa memiliki tantangan yang lebih besar dibanding wilayah Sumatera.
“Kalau di Pulau Sumatera, kecenderungannya hujannya merata sepanjang tahun. Sedangkan di Pulau Jawa hujannya tidak merata sepanjang tahun, ini bisa menjadi persoalan,” ucapnya.
Meski begitu, Budi mengakui, walau termasuk industri padat karya karena menyerap tenaga kerja yang besar, industri perkebunan hingga kini masih dipandang sebelah mata masyarakat.
“Padahal, butuh banyak tenaga untuk industri perkebunan. Tetapi tampaknya banyak angkatan kerja yang memilih untuk menjadi buruh di pabrik daripada kerja di kebun,” ucapnya.
Dari total pekerja yang ada di perkebunan Krumput, Budi mengatakan sebagian besar tenaga kerjanya berasal dari wilayah sekitar. “Dari sekitar 400-an pekerja di kebun Krumput, nyaris semuanya merupakan warga sekitar yang kami pekerjakan,” ujarnya.