Purwokertokita.com – Media dinilai masih memberikan perhatian minim bagi kelompok minoritas di Indonesia. Padahal selama ini, negara seringkali abai terhadap hak kelompok minoritas pascakonflik.
Pernyataan mengemuka dalam diskusi “Peran Media dalam Mempengaruhi Wacana Publik atas Diskriminasi dan Pelanggaran Hak-Hak Kelompok Minoritas” yang diselenggarakan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia dan Yayasan TIFA di Jakarta, Minggu (13/3).
“Dalam kasus konflik Syiah Sampang, Ahmadiyah atau Gafatar, misalnya, bagaimana aset-aset mereka, siapa kemudian yang menguasai, dan bagaimana peran negara untuk melindungi,” kata Direktur Eksekutif Yayasan Tifa, Darmawan Triwibowo melalui siaran pers yang diterima Purwokertokita.com, Minggu (13/3)
Pada konteks tersebut, Darmawan menyayangkan meyayangkan posisi media hanya bertindak seperti layaknya pengamat dengan memberitakan di awal peristiwa. “Sebenarnya, media memiliki legitimasi menuntut pertanggungjawaban kelalaian negara. Jurnalis juga tidak hanya sekedar menjadi pelapor peristiwa,” tegasnya.
Dalam diskusi yang dihadiri sekitar 60 jurnalis dan masyarakat sipil, AJI Indonesia memaparkan hasil riset dengan mengukur daya tahan media mengawal konflik yang melibatkan kelompok minoritas. Sampel yang diambil dalam pemaparan tersebut adalah kasus konflik Syiah Sampang dan Gafatar pada dua media online lokal dan dua media online nasional.
“Hasilnya cukup mengejutkan, karena pemberitaan terbanyak pada tiga hari hingga seminggu pertama pascakonflik terjadi. Ketika air mata dan darah bercucuran,” ungkap Ketua Bidang Perempuan dan Kelompok Marjinal AJI Indonesia, Y Hesthi Murti.
Dari hasil tersebut, Hesthi menjelaskan dominasi berita peristiwa cukup tinggi. Ia mengemukakan, kecenderungan berita terbanyak terjadi pada bulan pertama dan diikuti tren menurun, kemudian di bulan kedua sudah menurun drastis.
Contoh tersebut, dikemukakannya dengan mengambil sampel isu Syiah Sampeng di media www.surabaya.tribunnews.com. Pada bulan pertama pascapenyerangan, dalam kurun waktu 27 Agustus 2012 hingga 27 September 2012 mengunggah 145 berita. Kemudian di bulan kedua, antara 28 September 2012 hingga 27 Oktober 2012 hanya mengunggah satu berita.
Kecenderungan serupa juga terjadi pada media online nasional, www.tempo.co. Dalam kurung waktu sebulan pertama mengunggah 168 berita dan bulan selanjutnya hanya menggunggah 11 berita. “Terjadi penurunan yang cukup drastis, meskipun kasusnya belum selesai,” katanya.
Sementara itu, perwakilan dari United Nation Development Programe (UNDP) Fajar Nursahid memaparkan gambaran kelompok minoritas melalui indeks demokrasi Indonesia yang merujuk pemberitaan media sebagai kajian. Dalam indeks tersebut, dalam rentang waktu 2009 hingga 2014, ditemukan hambatan dan diskriminasi atas dasar agama dan keyakinan lebih kuat dibanding diskriminasi gender, etnis atau kelompok rentan.
Penguasaan Sumber Daya Alam
Tak hanya itu, Direktur Eksekutif Sajogyo Institute Eko Cahyono menyampaikan, konflik minoritas yang melibatkan kelompok masyarakat adat, erat kaitannya dengan upaya penguasaan sumber daya alam. Hal tersebut, dikemukakannya merujuk pada sejumlah kasus yang terjadi di Paneai (Nabire-Papua), Cisitu (Lebak), Cek Bocek (Sumbawa) dan Malind (Merauke Papua).
Dari hasil riset lembaganya, Eko menunjukkan ragam cara dilakukan perusahaan dan koorporasi untuk memuluskan tujuan penguasaan sumber daya alam yang kini berada di wilayah-wilayah penguasaan kelompok minoritas adat.
“Sulit memisahkan meluasnya isu SARA dengan konflik perebutan sumber daya alam yang kerap tersembunyi atau disembunyikan. Sementara, konflik dengan menggunakan isu agama menempati posisi terempat untuk mengalihkan penguasaan sumber daya,” katanya.
Sebab itu, Ketua AJI Indonesia Suwarjono menambahkan, pentingnya media membaca di balik konflik kelompok minoritas, terutama yang menggunakan isu suku, agama, ras dan antargolongan. Selain itu, ia berharap media juga ikut mengambil bagian dalam memberikan suara bagi kelompok minoritas dalam memperjuangkan haknya.
“Tak cukup hanya menjadi jurnalis yang indipenden tapi juga mempunyai sikap. Tantangan media saat ini berbenturan antara kondisi di lapangan dan di ruang redaksi yang lebih memperhatikan klik atau rating tapi tanpa solusi,” kata Suwarjono.
Sementara itu, Darmawan menambahkan media dan masyarakat sipil perlu terus melakukan inovasi memperhatikan masalah pemenuhan hak minoritas. Sebagai bentuk dukungan Yayasan Tifa membuka call proposal bagi lembaga yang mempunyai perhatian pada isu perlindungan pada kelompok minoritas.