Purwokertokita.com – Gedung Radio Republik Indonesia Purwokerto pernah menjadi saksi bisu terbentuknya Persatuan Perjuangan yang dibentuk Tan Malaka dan Jenderal Soedirman. Tan Malaka sendiri, pada 21 Februari 1949 mati diujung senapan milik tentara Indonesia, bangsanya sendiri.
Purwokertokita, mencoba merekam sepak terjang Tan Malaka di Purwokerto. Berikut ini hasil reportasenya.
Pada zaman Belanda, gedung RRi digunakan untuk balai pertemuan. Selain itu juga gedung tersebut digunakan untuk tempat dansa-dansi dan sempat dijadikan gedung bioskop.
Letak gedung tersebut berada di sebelah timur alun-alun Kota Purwokerto. Jaraknya sekitar 500 meter dari alun-alun. Atau pada jaman Belanda sekitar 20 meter dari Stasiun Timur. Saat ini lokasi tersebut berada di Jalan Jenderal Soedirman Purwokerto.
Gedung tersebut, setelah diakusisi oleh RRI dirombak sama sekali. Perombakan dilakukan tahun 1964.
Dari dokumen milik RRI Purwokerto, sebelum dirombak, gedung tersebut mempunyai halaman yang luas. Halamannya belum di semen, namun ditutupi oleh batu-batu kali kecil. Catnya berwarna putih. Di depan pintu masuk, ada sebuah tempat untuk memarkir mobil barang sebiji. Sementara di sudut kiri, ada juga tempat parkir untuk beberapa mobil.
Arsitekturnya masih bergaya eropa. Gedung tersebut terdiri atas dua ruang utama. Ruang depan untuk menerima tamu dan pengurusan administrasi. Dan ruang pertemuan yang letaknya berada di belakang ruang tamu. Ruang pertemuannya berkapasitas 300-600 orang.
Menurut Soegeng Wijono, lahir 28 November 1938, seorang ahli sejarah ekonomi Purwokerto, gedung tersebut sudah mengalami beberapa kali pergantian nama. Pada saat jaman jepang, gedung tersebut bernama gedung asia bersatu. Setelah republic berdiri, namanya berubah menjadi balai Prajurit.
Setelah itu, berubah kembali menjadi gedung Societeit, tempat pertemuan, bioskop, sekaligus tempat pergelaran wayang orang. Ayahnya Darto Helm, sering menanggap wayang di tempat tersebut. Setelah itu gedung tersebut dinamakan gedung nasional sebelum diambil alih oleh RRI Purwokerto.
Darmaji, kelahiran 1935, tinggal di Jalan Yosodarmo Purwokerto, sekitar 500 meter dari alun-alun mengatakan saat berlangsungnya PP, Purwokerto berwarna merah. Saat itu, banyak bendera Murba dikibarkan di sepanjang jalan dan di alun-alun kota. “Selain itu banyak orang luar kota yang datang ke Purwokerto,” terangnya.
Nirwan,lahir 1930, pengawal sekaligus teman Gandhi mengatakan, banyak peserta konggres menggunakan kereta api untuk datang ke Purwokerto. Kesaksian tersebut ia dapatkan sendiri dari Gandhi. Ia adalah generasi kedua kader Murba setelah Gandhi dan TM.
Saat ini selain dirinya, masih dua orang tersisa dari generasinya, yaitu Rochadi dan Soewarso Rahardjo. Dari generasi TM dan Gandhi sudah meninggal semua. Ia adalah aktivis pemuda Murba, gerakan mahasiswa murba dan ketua Agitasi dan Propaganda Murba Purwokerto.
Ia kenal sosok TM dari cerita Gandhi. Menurutnya TM adalah orang yang jujur dan konsisten terhadap perjuangan. “Kata Gandhi, Tan orangnya tak kenal kompromi,” ujarnya.
Rochadi, lahir 1938, pengawal khusus tamu atau petinggi Murba. Ia mengaku pernah mendapat tugas dari Gandhi untuk mengawal Tambeh, ketua DPD Murba Jateng, Maruto Raharjo, Sumodarsono, dan wasid Sunarto.
Pada saat PP, alun-alun kota banyak dipadati orang. Malah menjadi tontonan warga sekitar. Tak ada pengawalan ketat dari tentara saat itu. “Konggresnya aman,” ujarnya.
Terkait logistik konggres, ia menyebutkan banyak dibantu dari anggota Murba di daerah tersebut. Gandi sendiri menurut pengakuannya sempat menjual sawahnya untuk membiayai konggres tersebut. Kader lainnya membawa gula merah dan beras untuk keperluan konggres.
Kota Purwokerto sendiri pada saat itu sangat mudah untuk dijangkau peserta konggres dari daerah lain. Peserta konggres yang datang dari daerah timur seperti Purbalingga, Wonosobo, Banjarnegara, Temanggung, Semarang dan sekitarnya, bisa menggunakan kereta api dan turun di Stasiun Timur.
Sedangkan peserta konggres yang datang dari wilayah barat, bisa turun di Stasiun Raya, atau Stasiun Purwokerto saat ini. Kedua stasiun ini juga terhubung oleh sebuah rel. sisanya masih ada sampai sekarang.
Soal TM, Gandhi pernah mengatakan kalau TM tidak akan menikah sebelum republic benar-benar merdeka. “Bukan merdeka-merdekaan,” tandasnya.
Rochadi sendiri mengaku sangat dekat dengan Gandhi. Bahkan sudah seperti anak sendiri. Saat orde lama, ia pernah dipecat dari pekerjaannya sebagi guru karena dituduh ikut terlibat PKI. “Padahal saya Murba, bukan PKI,” tegasnya.