oleh: Indah Kusumawati, Septiana Kurniasari (Mahasiswa Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia)
Menurut World Health Organization (WHO) tahun 2019 sekitar 800.000 orang meninggal akibat bunuh diri per tahun di dunia. Angka bunuh diri lebih tinggi pada usia muda. Perilaku bunuh diri mencakup ide bunuh diri, rencana bunuh diri, dan tindakan bunuh diri. Perilaku bunuh diri dikaitkan dengan berbagai gangguan jiwa, salah satunya yaitu gangguan depresi.
Gejala depresi yang biasanya menjadi faktor risiko bunuh diri antara lain munculnya perasaan tidak berguna, putus asa atau tidak memiliki harapan dalam hidup. Di Asia Tenggara, angka bunuh diri tertinggi ada di Thailand yaitu 13 orang per 100.000 penduduk. Diagram di bawah ini menyajikan angka kejadian bunuh diri di beberapa negara lain di Asia Tenggara.
Dikutip dari Harian Kompas tanggal 15 Oktober 2023, menurut data dari Kepolisian RI kasus bunuh diri dari Januari hingga Juli 2023 tercatat sebanyak 663 kasus atau 3 (tiga) kasus setiap hari. Jumlah kasus bunuh diri ini naik 36,4 persen dibandingkan periode yang sama pada tahun sebelumnya.
Kasus terbanyak ada di provinsi dengan jumlah penduduk besar, yaitu Jawa Tengah dan Jawa Timur. Sedangkan World Health Organization (WHO) memprediksi prevalensi bunuh diri di Indonesia mencapai 2,6 per 100.000 penduduk atau termasuk rendah. Perkiraan ini dibuat karena Indonesia tidak melaporkan angka bunuh diri pasti yang terjadi. Dengan jumlah penduduk mencapai 270 juta, maka diperkirakan ada 7.000 kasus bunuh diri setiap tahun.
Dari data di atas, artikel-artikel yang ditemukan juga memberikan informasi penting mengenai kasus bunuh diri pada kalangan mahasiswa dan faktor-faktor yang dapat meningkatkan risikonya. Salah satu faktor risiko utama adalah masalah kesehatan mental seperti depresi, kecemasan, atau trauma.
Selain itu, perasaan stress, keraguan diri, tekanan untuk sukses, ketidakpastian keuangan, kekecewaan, dan kehilangan juga dapat berkontribusi terhadap risiko bunuh diri pada remaja.
Dalam sebuah penelitian oleh Azmul Fuady Idham dan rekan di tahun 2019 yang melibatkan 62 responden penelitian dengan 70 persen diantaranya berusia 20-25 tahun dan merupakan mahasiswa di sebuah perguruan tinggi di Surabaya, Jawa Timur, menyatakan bahwa sebanyak 58,1 persen memiliki ide dan upaya bunuh diri dengan kecenderungan tinggi.
Menurutnya ada jarak antara munculnya ide bunuh diri dan dilakukannya percobaan bunuh diri. Jeda waktu ini mulai dari hitungan hari hingga tahunan. Akan tetapi, pada sebagian responden lainnya, bunuh diri bisa dilakukan secara impulsif alias secara tiba-tiba tanpa pernah memiliki pikiran bunuh diri sebelumnya.
Meski baru sebatas ide bunuh diri, situasi ini perlu mendapat perhatian serius karena sewaktu-waktu bisa berubah menjadi upaya percobaan bunuh diri. Pemicu sekecil apa pun bisa mengubah ide bunuh diri menjadi tindakan nyata. Oleh karena itu, mengenali perilaku bunuh diri pada tahap ini sangat penting untuk mencegah terjadinya tindakan bunuh diri.
Di sisi lain, seorang peneliti Australia bernama Dr. Sandersan Onie dalam sebuah studinya mengatakan bahwa angka bunuh diri yang sebenarnya dapat menjadi jauh lebih besar dari yang dilaporkan saat ini dikarenakan berbagai masalah dalam alur pendataan.
“Pada setiap proses dalam alur pendataan bisa terjadi error atau flaw dimana misalnya pihak keluarga tidak mau memberi tahu Polisi karena mereka malu oleh stigma. Atau, karena pihak kepolisian juga ingin melindungi keluarga korban sehingga tidak dilakukan investigasi lebih lanjut. Dokter di rumah sakit pun demikian, dengan alasan untuk melindungi keluarga korban, kasusnya tidak dilaporkan bahwa ini bunuh diri,” kata dr. Sandersan dalam BBC News Indonesia.
Menurut laporan dari Centers for Disease Control and Prevention (CDC), tingkat bunuh diri pada kalangan muda mengalami peningkatan selama dekade terakhir. Hal ini menunjukkan bahwa kasus bunuh diri pada remaja merupakan masalah yang serius yang memerlukan perhatian lebih. Upaya pencegahan bunuh diri pada remaja perlu difokuskan pada identifikasi mereka yang berisiko tinggi terutama karena paparan media sosial yang sangat tinggi.
Menurut David Luxton (2012), terdapat beberapa cara spesifik bahwa media sosial dapat meningkatkan risiko perilaku pro-bunuh diri. Cyberbullying dan pelecehan dunia maya misalnya, merupakan masalah yang serius dan lazim.
Cyberbullying biasanya mengacu pada kondisi dimana seorang anak/remaja dengan sengaja dan berulang kali dijadikan sasaran oleh anak/remaja lain dalam bentuk ancaman, pelecehan, dipermalukan secara langsung, dipermalukan melalui telepon seluler atau teknologi Internet lain seperti email, SMS, situs jejaring sosial, dan pesan instan.
Pelecehan dunia maya dan penguntitan dunia maya biasanya mengacu pada tindakan yang sama jika melibatkan orang dewasa. Tinjauan terhadap data yang dikumpulkan antara tahun 2004 sampai dengan 2010 melalui sebuah survei menunjukkan bahwa tingkat viktimisasi cyberbullying seumur hidup berkisar antara 20,8 persen hingga 40,6 persen dan tingkat pelanggaran berkisar antara 11,5 persen hingga 20,1 persen.
Media sosial juga dapat menimbulkan bahaya bagi kelompok rentan melalui pembentukan dan pengaruh kelompok online “komunitas ekstrem” yang mempromosikan dan memberikan dukungan terhadap keyakinan dan perilaku yang biasanya tidak dapat diterima oleh arus utama sosial seperti anoreksia, bunuh diri, dan amputasi yang disengaja.
Mirip dengan pengguna situs pro-gangguan makan, pengguna situs pro-bunuh diri mungkin mendapatkan dukungan dan penerimaan yang belum mereka temukan melalui cara lain. Meskipun kelompok-kelompok online ini mungkin memberikan manfaat berupa dukungan, namun mereka juga dapat menimbulkan risiko bagi masyarakat karena mendorong individu-individu yang rentan untuk menyakiti diri mereka sendiri.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa kasus bunuh diri pada remaja merupakan masalah serius yang memerlukan perhatian dan langkah-langkah pencegahan yang efektif. Faktor-faktor risiko seperti masalah kesehatan mental, stres, tekanan sosial, dan lingkungan yang tidak mendukung dapat meningkatkan risiko bunuh diri pada remaja.
Diharapkan dengan lebih memahami faktor-faktor risiko ini, kita sebagai anggota masyarakat dapat mengambil langkah-langkah yang tepat untuk mencegah bunuh diri remaja dan memberikan dukungan yang diperlukan kepada mereka yang berisiko tinggi.***