Oleh: Prayogo Agung Paningkas
Medio Januari, saat aku memutuskan untuk menyudahi hubungan kita berdua. Aku memutuskan untuk keluar dari salah satu sisi segitiga cerita antara aku, kau, dan dia. Karena memang aku menyadari tidak ada balas rasa antara kita berdua. Rasamu masih utuh terpelihara hanya untuknya.
Aku yang terlalu lugu, menganggap ruang dan waktumu benar-benar untukku. Untaian pesan singkat darimu yang berisi kabar, setiap hari seakan menjadi candu. Setiap hadirmu meninggalkan residu berupa rindu. Aku benar-benar terjangkit virus merah jambu. Padahal, dirimu hadir hanya untuk sekadar singgah saat dirimu dan dirinya luang waktu.
Aku yang tak tahu diri, seenaknya membawa hati terbang tinggi. Namun, seketika jatuh kembali. Saat kutahu bahwa rasa ini hanya tumbuh sendiri. Dalam benak, sempat terbesit rasa kecewa. Namun besarnya cinta, seketika mampu meredam luka. Karena cintaku adalah cinta yang ikhlas tanpa menuntut imbal balas.
Saat ini, aku memilih pergi. Mengurangi beban pikiranmu agar tidak ada lagi ruang dan waktu yang terbagi. Aku yang lebih mampu untuk sendiri. Aku tak mau menjadi duri. Jangan merasa kasihan terhadap hatiku yang malang. Jangan merasa iba, karena aku tak suka. Secepatnya luka ini akan lekas menjadi lupa.
Kita akan menjalani hari di jalan masing-masing. Dan lambat laun kita pasti akan menjadi asing. Seiring luka di hati yang kian mengering. Kelak, kita akan terpisah karena jarak, ruang, dan waktu.
Yang terpenting, di saat terakhir sebelum aku benar-benar pergi dan melepaskan dirimu untuk dirinya. Aku selalu berusaha memberikan yang terbaik untuk dirimu. Cinta yang terungkap dengan sikap walau tanpa ucap. Dan aku yakin hatimu cukup peka untuk merasa.
Aku akan baik-baik saja. Walau tak bisa seketika lupa. Yang tertinggal dari kisah kita bukan sekadar luka. Ada banyak yang kita petik dari cerita kita. Tentang rindu, tentang sabar, dan tentang ikhlas. Aku dan kamu akan saling bahagia. Walau di jalan yang berbeda. Untukmu, selalu teriring doa. Selamat tinggal, kekasih.