Purwokertokita.com – Obrolan tentang kemarau panjang dan kekeringan seperti sudah menjadi cemilan, selalu dibahas ketika bertemu dengan kawan atau orang yang tidak saya kenal sekalipun. Sumur kering, air sungai tak mengalir, sumber mata air menghilang, dan masih banyak lagi hal lainnya yang menarik untuk dibicarakan.
Orang mandi di kali yang sebetulnya sudah bukan menjadi kebiasaan masyarakat sekarang ini, yang katanya sudah serba modern, justru menjadi hal yang lazim dijumpai di banyak tempat. Banyak juga cerita tentang petani yang beralih menjadi pembuat batu bata untuk menyambung hidup, irigasi sawah sudah kering, sementara dapur harus terus ngebul.
Dari sekian banyak obrolan, saya tertarik ingin berbagi obrolan saya dengan dua orang yang awalnya tidak saya kenal, saat mampir di sebuah warung kopi di pinggir Bendung Gerak Serayu. Awalnya saya sendirian, menikmati kopi hitam dan beberapa batang rokok sambil menunggu si ibu warung menggoreng mendoan.
Saat sedang duduk santai, ada dua orang bapak yang memarkirkan motornya di depan warung, lalu masuk duduk di samping saya dan memesan kopi hitam, sama seperti yang saya lakukan. Tidak lama duduk kedua bapak ini langsung berbincang, kekeringan menjadi topik obrolan mereka.
“Panas sekali ya, udah nggak wajar ini panasnya, banyak orang bilang kemarau panjang ini katanya dampak dari El Nino,” kata seorang dari mereka, yang kemudian saya tanya namanya pak Santo. Saya pun berpikir hal yang sama dengan pak Santo. Fenomena El Nino adalah suatu gejala penyimpangan kondisi laut yang ditandai dengan meningkatnya suhu permukaan laut di Samudra Pasifik, dampaknya terasa sampai di Indonesia.
Tapi teman pak Santo, yang dipanggil oleh pak Santo dengan nama Udin, tidak setuju dengan apa yang dikatakan pak Santo tentang El Nino. “Kekeringan ini bukan karena El Nino, tapi karena ulah manusia sendiri yang tidak mau menjaga alam, pohon-pohon penghasil air pada ditebang, ya jelas saja kekeringan,” begitu kata pak Udin.
Ketika pak Udin bercerita seperti itu saya pun jadi lebih serius menyimak obrolan mereka. “Maksudnya gimana din? pohon apa yang kamu maksud? hutan di sekitar kita kan masih banyak dan luas,” tanya pak Santo.
“Saya itu kemarin baru sadar dengan ulah tetangga saya yang tahun lalu menebang pohon pucung di dekat sumur, dari jaman eyang saya sumur itu tidak pernah kering, tapi setelah pohon pucungnya ditebang, sekarang ini sumur jadi kering,” jawab pak Udin.
“Saat ditebang, kayu pohon pucung itu mengeluarkan banyak air dan sangat berat saat diangkat, tapi setelah kayunya kering, kayu itu menjadi sangat ringan, dari situ saya tahu kalau pohon pucung itu menyimpan air yang sangat banyak. Ya jelas saja sekarang sumur saya kering, pohon pucung punya tetangga saya itu sudah ditebang,” tambah pak Udin.
Lalu pak Santo tertawa ringan karena melihat ekspresi wajah temannya yang berubah menjadi jengkel saat bercerita tentang tetangganya. “Itu kan pohon milik tetangga mu, ya terserah dia mau ditebang atau tidak, nasibmu itu punya sumur yang mepet lahan tetangga,” ledek pak Santo sambil tertawa.
Kopi hitam yang sudah tersaji di meja saya seruput, ibu warung menyajikan mendoan pada nampan plastik di depan kami. Saya pun meminta garpu dan piring, tangan saya kepanasan saat mengambil mendoan yang masih panas. Tak berselang lama, pak Santo memulai obrolan lagi, “Apa jangan-jangan sumber mata air di desa saya sekarang ini kering juga karena banyak pohon yang sudah hilang yaa?, dulu banyak pohon aren di sekitar belik, sekarang sudah ditebangi semua. Anehnya baru pertama kali belik itu jadi kering saat kemarau sekarang ini”.
“Bisa jadi itu, pohon aren kan juga banyak airnya,” timpal pak Udin.
Lalu saya pun tertarik untuk ikut masuk pada obrolan mereka, “Dulu pernah ada orang dari Kantor Lingkungan Hidup Banjarnegara yang sedang nyari bibit pohon aren, kebetulan menghubungi saya, katanya pohon aren itu untuk tanaman konservasi”.
“Naaaahhhh…. itu, berarti bener dek, sumber mata air di desa saya jadi kering karena pohon aren di sekitarnya sudah ditebang semua,” saut pak Santo.
“Waahhh kalau begini berarti nggak bener ini orang yang pada nebangi pohon aren, bikin susah masyarakat saja,” tambah pak Santo.
Lalu pak Udin tiba-tiba tersenyum sambil melihat ke arah pak Santo, “bener kan omonganku?, pohon-pohon penghasil air sudah pada hilang, orang-orang kita yang salah sudah menebangnya,” kata pak Udin. Pak Santo hanya diam sambil mengangguk-anggukan kepalanya, sepertinya dia memahami maksud pak Udin yang bercerita tentang pohon penghasil air yang ditebang.
Saya yang kebetulan baru berkunjung dari Pemandian Air Mineral Kalibacin, yang berada dekat dengan Bendung Gerak Serayu, menjadi tertarik untuk menceritakannya. “Tadi saya dari Pemandian Air Mineral Kalibacin pak, saya melihat sumber mata air yang sangat bagus di sana, kemarau seperti ini debit airnya masih besar. Di dekat sumber mata air itu ada pohon beringin besar, mungkin saja pohon beringin itu juga menghasilkan air”.
Lalu pak Santo dan pak Udin yang penasaran bertanya kepada saya tentang lokasi Pemandian Air Mineral Kalibacin, saya pun menunjukan arah jalannya.
Kami pun melanjutkan obrolan tentang kekeringan. Pohon pucung, aren dan beringin kemudian menjadi topik bahasan kami. Jenis-jenis pohon ini memang sudah jarang ditanam oleh masyarakat, mungkin saja ini menjadi penyebab kekeringan di banyak tempat. Perlu ada kampanye dan edukasi kepada masyarakat untuk mulai menanamnya kembali.
Setelah ngalor-ngidul kami ngobrol tentang kekeringan, pak Santo dan pak Udin pamit untuk melanjutkan perjalanan. Mereka pun membayar kopi dan mendoan yang telah menemani obrolan hangat kami. Saya pun ikut beranjak dari tempat duduk, kopi dan mendoan saya bayar, lalu saya pamit pada ibu warung, melanjutkan perjalanan pulang.
Yudi Setiyadi