Dag Dig Dug, Berperahu di Kawasan Buaya Segara Anakan Beranak Pinak

Lingkungan, Rehat209 Dilihat
Perahu jukung membelah hutan mangrove di Segara Anakan. (Ridlo Susanto/Purwokertokita.com)
Perahu jukung membelah hutan mangrove di Segara Anakan. (Ridlo Susanto/Purwokertokita.com)

Purwokertokita.com –Akhir pekan ini aku berniat berkunjung ke sahabat lamaku, Kustoro, di Desa Ujung Alang, Kampung Laut. Kami menunggu perahu dari atas dak kecil pinggir Sungai Cibereum. Aku menunggu di pemberhentian perahu yang lengang Kawasan Ciwelutan, Sidareja. Kami berempat waktu itu.

Terik matahari tengah hari seolah mebuat seluruh alam meruap. Lihatlah, di bawah dak dermaga kecil ini bebek berenang malas. Ikan caung yang biasa ramai memperebutkan sisa makanan pun senyap. Saat itu kulihat perahu yang akan kutumpangi buang sauh.

Kawan, kau jangan membayangkan perahu yang bakal kutumpangi ini seukuran dengan perahu-perahu cepat seperti yang sering dilihat dalam film yang mengisahkan para pelaut ulung. Perahu ini bukan speed boat, bukan pula fast attack boat. Perahu ini hanya berdimensi kurang lebih panjang tujuh meter, sedangkan bukaan tengah perutnya kurang dari 120 centimeter. Mungil, bukan?

Baca Juga: Pak Raden dan Dolanan Bocah yang Sudah Punah

Hanya berbobot 3 kwintal, empat orang dewasa pun mampu mengangkat enteng perahu ini. Tanpa mengindahkan aturan keselamatan penumpang, tak jarang perahu sekecil ini dipaksa mengakut 20 karung gabah. Kira-kira bobot muatannya sekitar satu ton. Terkadang masih ditambah para pemilik gabah, jika ada satu saja buaya muara iseng menyundul, perahu ini bakal sukses tertelungkup menumpahkan segala muatannya.

“Ah biasa, Mas, ini hanya. Kuat kok ngangkut 20 kandi. Jangan khawatir, orang sini sudah biasa?” tukas Pak Kuat, si pria setengah baya pengemudi perahu mungil itu. “Bisa berenang kan?”. Waduh, pertanyaan terakhir kok bikin aku merinding.

Dan ini bukan sekali dua terjadi. Seringkali para nahkoda nekad itu terpaksa berurusan dengan polisi. Lantaran berhasil dengan sukses menenggelamkan pacul, timbangan, beras, jagung, dan berbagai hasil bumi lain. “Tapi tidak pernah ada yang mati, Mas. Soalnya semua orang sini pandai berenang,” ujarnya, enteng.

Nah, Lho.

Transportasi menuju Kampung Laut di Laguna Segara Anakan hanya bisa dijangkau dengan perahu jukung. (Ridlo Susanto/Purwokertokita.com)
Transportasi menuju Kampung Laut di Laguna Segara Anakan hanya bisa dijangkau dengan perahu jukung. (Ridlo Susanto/Purwokertokita.com)

Baca Juga: Ini 20 Alasan Agar Kaum Pendatang Betah di Purwokerto

Kamipun memulai perjalanan seru ini. Tusukan mentari jingga yang menusuk awan di langit menyisakan semburat indah melepas keberangkatan kami petang itu.

Selama perjalanan, Aku, dan ketiga temanku, hanya diam saja. Penumpang lainnya pun diam. Bukan apa-apa.Perahu yang kutumpangi ini -seperti kujelaskan dimuka- berukuran minim. Sedikit saja gerakan tubuh, maka perahu ini akan menggelinjang hebat, oleng ke kiri dan ke kanan.

Kalau Kau ingat lagu potong bebek angsa, niscaya bisa membayangkan peristiwa yang kualami ini dari salah satu barisan liriknya, ‘Sorong ke kiri sorong ke kanan’.

Awal berlayar, kami melewati deretan rumah-rumah gedhek milik penduduk bantaran sungai. Rumah-rumah ini berkombinasi dengan tobong genteng dan batu bata. Tobong adalah istilah untuk menyebut ruangan pembakaran batu bata dan genteng. Para warga pada awalnya merupakan nelayan sungai, namun karena satu dan lain hal, terutama karena populasi ikan yang semakin menurun, mereka memutuskan tali persaudaraan dengan jaring, jala, bubu, dan pancing. Kini mereka berubah profesi menjadi buruh batu bata merah.

“Wah, berat sekarang mah kalau jadi nelayan. Ikan sedikit banget,” jelas Pak Kuat. Tangannya dengan terampil mengemudikan perahu, disambi nglinting tembakau dicampur kemenyan.

Begitulah, terkadang kreatifitas akan muncul saat seseorang terdesak. Desakan ekonomi yang sudah tak lagi bisa dicukupi nelayan dengan menjala, menjaring, memasang bubu dan memancing memaksa mereka beralih pekerjaan. Lolos dari jerat kemiskinan nelayan sungai, mereka kini terperangkap kehidupan buruh batu bata merah yang serba terbatas. Modal menjadi hambatan terbesar mereka.

Ironis. Mereka yang dahulunya sangat berdaulat di sungai dan di laut, sekarang hanya hidup menghamba pada para juragan batu bata dan genteng. Para investor luar daerah yang memiliki modal membangun tobong-tobong itu. Fenomena ini kulihat sebagai paradoks ekonomi, ketika sebuah masyarakat tak bisa memanfaatkan kekayaaan lokal untuk kesejahteraan, mereka terjajah oleh bangsa sendiri.

Habis deretan tobong, perahu semakin melambat. Petang mulai datang. Arus Sungai Cibeureum mengalir ke hulu. Sungai yang membujur dari utara ke selatan langsung mengarah Laut Selatan memang sungai pasang surut. Terkadang pagi mengalir seperti biasa ke arah selatan, ke muara. Namun, menjelang siang air kembali berbalik ke utara. Jadi jangan heran jika kita bisa bertemu dengan gedebok pisang yang sama selama seminggu berturut-turut, empat kali sehari. Sebab Sungai Cibereum pasang dua kali dan surut dua kali dalam sehari. Kita bisa saja bosan melihat tas kresek yang sama berkali-kali. Suka-suka kresek saja lah mau berapa kali bolak-balik.

Mesin tempel 2 PK di perahu kami bergetar. Suaranya kemrosok memekakkan telinga. Muatan perahu yang sedikit overdosis, ditambah melawan air pasang membuat kami lebih bisa menikmati suguhan pemandangan hutan payau di sepanjang pinggiran sungai. Selain nahkoda, aku, Turyono, Sabik dan Fadli, tiga penumpang lain turut serta. bersama mereka turut pula beras 5 karung, 2 karung bawang merah, sepeda onthel 4 buah, dan bermacam dagangan warung yang jumlahnya berkeranjang-keranjang.

Mataku tertumbuk pemandangan aneh. Setahuku dalam literatur yang sering kubaca mengenai hutan mangrove, yang bisa hidup di habitat ini antara lain; pohon bakau, api-api, papadan, nipah, jeruju, kaboa, tengar, dan beberapa tumbuhan lain yang kukenal lewat ensiklopedi, termasuk gambarnya. Namun di sini kulihat ada deretan pohon kayu putih yang tertata rapih. Pola pohon dan jarak yang konsisten ini memastikan tumbuhan ini bukan asli tetumbuhan hutan payau.

“Kayu putih itu milik Perum Perhutani,”. Ujar Pak Kuat.

Pak Kuat rupanya sedari tadi memperhatikanku. Dia tahu pasti pertanyaan-pertanyaan yang berkecamuk dalam otakku.

“Dilihat dari sisi manapun sebenarnya penanaman kayu putih ini tidak tepat. Dari sisi ekologi, tanaman kayu putih dipaksa hidup bukan di habitatnya. Selain itu, kayu putih belum tentu cocok untuk flora-fauna lain di sekitarnya. Jangan-jangan kayu putih ini mematikan juga bagi satwa air di sekitarnya. Seharusnya ada kajian komprehensif mengenai penanaman kayu putih itu,” tukas Fadli. (bersambung)

Baca Juga: Enam Kuliner Ayam Paling Diburu di Purwokerto

Muhammad Ridlo Susanto

Tinggalkan Balasan