Pentas Teatrikal “Chaos”, Refleksi Pertikaian Bangsa di Dunia

Komunitas, Peristiwa251 Dilihat
Aksi teatrikal Komunitas Kiye Banyumas Art Event (BAE) di Gedung Teater Indoor, Taman Budaya Soetedja Purwokerto, Selasa (6/11) malam. (NS/Purwokertokita.com)

Purwokertokita.com – Komunitas Kiye Banyumas Art Event (BAE) menggelar pentas teatrikal bertajuk “Chaos” di Gedung Teater Indoor, Taman Budaya Soetedja Purwokerto, Selasa (6/11) malam.

Pentas ini dibuka dengan penampilan dua sosok pria yang tampak memanjat susunan batang bambu yang menjulang tinggi. Kemudian, lelaki bersarung keluar dari sudut panggung dan memulai narasi tentang pertikaian.

Ia mengutuk beragam aksi kekerasan atas nama budaya, sejarah, agama hingga kekuasaan di Indonesia. Ia juga menyebut kasus Marsinah, Munir, juga dengan penghilangan aktivis mahasiswa.

“Masyarakat Baduy yang harus berjalan jauh ke kota untuk menjual hasil bumi, karena didera kemiskinan. Mereka juga terpaksa menjual budayanya,” kata lelaki bersarung itu.

Adegan berganti, sejumlah orang sibuk membangun rumah, ibarat membangun keluarga dan peradabannya. Bahkan, sempat menikmati hiburan dari biduan dangdut.

Ketika tatanan semakin rapi dan kompleks, tiba-tiba kerumunan massa itu dibuat bingung. Lantaran harus mencari “kepala” untuk mengatur mereka.

“Kepala, mana kepala, endas, kepala,” teriak mereka.

Lelaki bersarung datang, lalu menyarankan untuk mencari kepala di tempat yang mudah ditemukan. Kalau perlu hingga luar negeri, Kamboja, Madinah dan lainnya. Tapi, lagi-lagi, mereka tetap saja kebingungan.

Di akhir adegan, masyarakat semakin larut dalam pertikaian. Karena saling menghujat di dunia nyata maupun dunia maya. Hingga seluruh tokoh digambarkan mati bersama.

Sutradara pentas, Syaikhul Irfan mengatakan, narasi pertikaian dalam pementasan tersebut merupakan bagian dari refleksi sejarah panjang. Tak hanya dalam kisah pewayangan, menurut Irfan, pada masa penyebaran agama pun terjadi pertikaian panjang.

“Tokoh-tokoh seperti Abimanyu, Bisma, Imam Husein, Marsinah, Munir, muncul bukan dalam bentuk peran, melainkan dalam narasi yang dibacakan,” katanya.

Irfan menambahkan, narasi dalam pementasan merupakan ciptaan mereka sendiri, sebagai refleksi sejarah. Pencarian kepala yang memiliki air yang jernih, punya gagasan, pemikiran yang bersih, memiliki keihklasan dan sumbangsih terhadap peradaban.

“Tapi, kepala yang memenuhi kriteria itu justru dipotong oleh sekolompok penguasa,” tuturnya.

Irfan mengungkapkan, pementasan ini dapat dimaknai sebagai ekspresi kebebasan berkesenian sekaligus refleksi atas kondisi pertikaian yang dialami oleh seluruh bangsa di dunia.

“Kami pun berupaya menggugat arus narasi tersebut,” pungkasnya. (NS/YS)

Tinggalkan Balasan