Purwokertokita.com – Hari ini kita punya kisah seru sob. Soal penangkaran Tyto alba di Desa Maos Kidul Cilacap. Burung imut dan lucu ini adalah sahabat petani. Mereka adalah predator alami Ratus agentiventer atau tikus sawah yang suka memakan hingga 60 persen padi petani.
Binatang nocturnal yang suka keluar malam hari ini sangat setia pada pasangannya. Mereka pengikut mahzab monogami. Tyto juga hanya tinggal di satu rumah, meski rumahnya hancur diterjang badai. Bagaimana kisahnya, yuks ikuti reportase wartawan senior Purwokertokita.com, Uwin Chandra.
Sinar mentari masih terasa panas di Desa Maos Kidul Kecamatan Maos Cilacap Jawa Tengah. Panas musim kemarau masih terasa memenuhi tiap ruang tamu di rumah Kasum Sudarjo, Ketua Gabungan Kelompok Tani Sumber Makmur, yang kini usianya sudah menginjak 65 tahun.
Ditengah sumuknya hawa, Kasum masih kelihatan bersemangat menceritakan pengalamannya yang berharga dan kini bisa membantu rekan-rekan petani di wilayahnya.
“Dahulu di desa kami, kalau panen selalu diserang hama tikus. Akibatnya, hasil panen yang kami terima paling banyak hanya 50 persen dari total biasanya produksi,” ujarnya saat ditemui, Senin (3/11).
Ia menghitung dalam satu bau atau luasan sebesar tujuh ribu meter persegi, hanya bisa memanen padi paling banyak enam ton. Padahal, biasanya bisa mencapai hingga 11 ton. Diakuinya, berbagai usaha dilakukan untuk mencari pemecahan persoalan yang dihadapinya untuk menadapatkan panen padi secara utuh.
“Hingga suatu hari, saya diajak untuk ikut workshop mengenai pelatihan mengenai pertanian. Dalam salah satu materinya, pengendalian hama berbasis ramah lingkungan dengan menggunakan predator alami,” jelas pria yang hobi minum kopi ini.
Usai mengikuti workshop, Kasum berusaha mewujudkannya dengan membuat rumah burung hantu (rubuha) di kawasan lahan persawahan desanya yang memiliki luasan hingga 196 hektare persegi.
“Pada awalnya, warga tak percaya dengan memelihar burung hantu dan mendirikan kandangnya di tengah sawah bisa mengurangi hama tikus,” ucapnya dengan logat banyumasan.
Setelah berdiri rumah burung hantu buatannya, Kasum hanya menunggu datangnya burung hantu atau Serak Jawa yang memiliki nama latin Tyto Alba. “Setelah saya dirikan, burung hantu pun mendiaminya dan melakukan operasi pembasmiaarn tikus. Namun, warga belum mau mengikutinya. Padahal, di sini (Desa Maos Kidul), populasi burung hantu cukup besar,” ujarnya.
Meski memiliki populasi burung hantu yang cukup besar, lanjutnya, banyak warga yang takut lantaran keberadaan burung hantu selalu dikaitkan dengan sesuatu yang mistis. “Di sini warga malah ketakutan kalau mendengar suara burung hantu,” katanya tertawa kecil.
Hingga akhirnya, pada suatu hari di tahun 2012, Ia mendapati rubuha yang didirikannya ambruk di tengah sawah. Saat itu, ia mengemukakan ada beberapa warga yang melihat rubuha tersebut.
“Saat itu, ada warga yang lihat rubuha ambruk. Saat itu saya buka dan melihat beberapa anakan burung hantu dan juga beberapa bagian tubuh tikus yang terkoyak di rubuha,” ucapnya.