Purwokertokita.com – Rencana deklarasi Front Pembela Islam Banyumas menuai pro dan kontra. Ada yang mendukung dan ada pula yang menolaknya.
“Apakah legalitas ormas FPI sudah selesai diurus?” Ujar Wahyu PM, warga Karanggintung Banyumas, dalam akun facebooknya.
Ia juga mempertanyakan apakah Bakesbanglinmas sudah menerima pendaftaran FPI. Menurut dia, negara yang diwakili aparat pemerintah wajib menjaga keutuhan bangsa.
Melalui perangkatnya, negara juga diharapkan tidak melakukan pembiaran terjadinya potensi konflik agar tidak terjadi gesekan horisontal. “Tapi kalau memang FPI Banyumas jadi deklarasi, maka siapkanlah telepon genggam untuk memotret patung yang ada di Purwokerto, siapa tau besok ada yang membongkar,” ujarnya.
Berbeda dengan Wahyu, Arif Pelox Pamungkas justeru mendukung keberadaan FPI di Banyumas. “Bukankan hidup berdampingan dengan menyamakan perbedaan itu lebih indah pak,sama seperti falsafah bhineka tunggal ika,” katanya.
Menurut dia, Banyumas bukan hanya milik NU saja, bukan milik Muhamadiyah, bukan milik Kristen, Hindu, Budha ato Konghucu saja. “Kenapa harus takut kalau ada FPI di Banyumas,” katanya.
Warga Banyumas lainnya, Bang Edos megatakan, selama ini akulturasi kebudayaan dalam transformasi Islam oleh Walisongo berlangsung sangat baik dan persuasif. Misalnya untuk mengajak masyarakat menjalankan ibadah wajib lima waktu tidak digunakan istilah sholat yang terdengar asing, melainkan Sembahyang, sebuah pilihan istilah yang sudah sangat melekat dalam memori sosial keagamaan masyarakat saat itu.
Sedangkan tempat untuk melaksanakan sembahyang, para Wali juga tidak serta merta menamakannya Musholla, melainkan Langgar, yang adalah berasal dan merupakan istilah pembeda dari Sanggar (sebutan bagi tempat ibadah agama kuno Kapitayan yang berbentuk segi empat dengan satu titik ruang kosong di pusatnya).
Demikian pula dengan ibadah puasa tidak digunakan kata Shoum, melainkan Upawasa/poso, yang juga merupakan salah satu ritual serupa puasa dalam agama Kapitayan. Dari kata upawasa ini kita sekarang mengenal dan menggunakan kata Puasa.
“Da’wah berarti mengajak, bukan menggasak; tidak pula membentak-bentak,” kata Edos.
Sedangkan Dede Arkan menyebut kalau saat ini kemaksiatan sudah merajalela di Purwokerto. “Apa kalau ada orang zina di depan rumah anda, anda akan diam saja,” ujarnya.