Purwokertokita.com – Meski baru belajar, tangan Zain, 22 tahun, terlihat cukup terampil meracik kopi. Satu persatu permintaan tamu akan gurihnya Kopi Kayumas, dilayaninya dengan cekatan. Pakai hati.
“Saya baru delapan bulan belajar menjadi barista,” ujar Zain kepada Purwokertokita.com, Minggu (29/11) di Hotel Sidomuncul Situbondo.
Kopi Kayumas dari Desa Kayumas Kecamatan Arjasa Kabupaten Situbondo sedang naik daun sekarang. Tahun 2010, kopi ini memenangi Festival Kopi di Bali.
Bagi saya yang sering kambuh asam lambungnya, meski penggemar kopi, Zain menyarankan untuk mencoba kopi arabika. Kopi Arabika memiliki kadar kafein yang lebih rendah dibanding kopi robusta.
Ciri lainnya, arabika cocok ditanam di daerah dataran tinggi, sedangkan robusta tumbuh di dataran rendah.
Kopi pun mulai diseduh. Kopi diseduh di air dengan panas 98 derajat celcius. Disaring dengan kertas V60 yang menghasilkan kopi dengan panas 60 derajat celcius.
“Sebaiknya tidak usah pakai gula, ini untuk merasakan sensasinya. Inilah filosofi kopi,” kata Didi Suryadi, 40 tahun, petani kopi Desa Kayumas yang kini menjadi barista kopi.
Ia tergabung dalam kelompok tani Sejahtera Kayumas. Anggotanya kini ada 20 orang. Mereka mempunyai lahan kopi seluas 1.500 hektare. Lahan itu ditanami 90 persen Arabika dan 10 Persen Robusta. “Karakter kopi Kayumas itu ada rasa cokelatnya, karamel dan rempah,” katanya.
Rasa kopi tergantung di mana ia ditanam dan tanaman apa yang ada di sekitarnya. Di Kayumas, ada tanaman tumpang sari jahe sehingga rasa kopinya pun ada sedikit rasa jahe.
Menurut dia, jika ingin tahu rasa kopi yang sesungguhnya, jangan diminum dengan gula. Rasakan sensasi pahitnya di ujung lidah. Pahit memang seperti kenangan atas mantan, tapi akan manis pada akhirnya.
Begitu juga dengan pengendalian inflasi. Jika tak dipantau secara serius, kenaikan harga-harga akan menyebabkan inflasi. Rasanya pahit seperti rasa kopi. Namun, jika mitigasinya tepat, akan berbuah manis. “Kami belajar jauh-jauh ke Situbondo untuk belajar mitigasi pengendalian inflasi,” ujar kata Ketua Rombongan TPID se-eks Keresidenan Banyumas Joko Djuniwarto di Situbondo, Jatim, Minggu (29/11/2015) sambil menyeruput kopi Luwak Kayumas.
Menurut dia, TPID Kabupaten Jember pada tahun 2015 mendapat penghargaan sebagai TPID Terbaik 2014 untuk kawasan Jawa. Untuk itulah, mereka ingin belajar mengenai kiat-kiat pengendalian inflasi di daerah itu.
Pihaknya mengajak perwakilan TPID se-eks Keresidenan Banyumas yang meliputi Kabupaten Banyumas, Cilacap, Purbalingga, dan Banjarnegara untuk mengikuti studi banding tersebut. Ia mengharapkan setelah mengikuti studi banding yyang dilakukan sejak Minggu (29/11) hingga Senin (30/11), TPID se-eks Keresidenan Banyumas termotivasi sehingga bisa meraih predikat TPID Terbaik untuk kawasan Jawa.
“Penghargaan TPID terbagi atas tiga wilayah, yakni kawasan Sumatra, Jawa, dan Indonesia Timur. Penghargaan tersebut diberikan oleh Presiden Joko Widodo dalam Rapat Koordinasi Nasional TPID VI di Jakarta pada akhir bulan Mei 2015,” kata Kepala Unit Komunikasi dan Koordinasi Kebijakan KPw BI Purwokerto itu.
Rombongan TPID se-eks Keresidenan Banyumas yang tiba di Kabupaten Situbondo pada Minggu (29/11) berkesempatan mengunjungi industri kerajinan mebel akar jati antik yang dikelola UD Akar Dewa di Desa Karanganyar Timur, Kecamatan Kendit, serta Griya Batik “Rengganis” di Desa Selowogo, Kecamatan Bungatan, yang dilanjutkan dengan ramah tamah serta diskusi dengan TPID se-eks Keresidenan Besuki dan Lumajang pada malam harinya.
Dalam diskusi antara TPID se-eks Keresidenan Banyumas serta TPID se-eks Keresidenan Besuki dan Lumajang yang digelar pada Minggu (29/11) malam, Joko memaparkan tentang perkembangan inflasi pada 2015 hingga Oktober, khususnya di kota Purwokerto (Kabupaten Banyumas) dan Cilacap yang relatif rendah.
Menurut dia, secara kumulatif, inflasi kota Purwokerto 1,41% dan Cilacap 1,6%. Padahal pada 2014, kata dia, inflasi di Purwokerto mencapai 6,86%, sedangkan Cilacap 7,94%.
“Jika tidak ada kebijakan ‘administered price’ seperti kenaikan harga bahan bakar minyak dan sebagainya, pencapaian inflasi di dua kota tersebut diperkirakan akan rendah,” katanya.
Ia mengatakan bahwa salah satu penyumbang inflasi terbesar di wilayah TPID eks-Keresidenan Banyumas adalah harga beras meskipun daerah tersebut sering surplus sehingga komoditas tersebut banyak dijual ke daerah lain.
Dalam kesempatan itu, Joko menjelaskan upaya yang dilakukan TPID Banyumas dan Cilacap untuk mengendalikan inflasi, salah satunya melalui uji coba tanam padi menggunakan metode Hazton.
Menurut dia, metode Hazton tidak hanya untuk meningkatkan produksi beras tetapi juga dapat meningkatkan penghasilan buruh tani.
Deputi Kepala KPw BI Jember Lukman Hakim menjelaskan tentang kiat-kiat TPID Jember untuk mengendalikan inflasi, salah satunya melalui agenda pertemuan rutin sehingga kabupaten itu bisa meraih predikat TPID Terbaik 2014 untuk kawasan Jawa.
Dia menjelaskan agenda pertemuan itu membahas metode manajemen risiko inflasi, program kerja unggulan pada 2013, program kerja unggulan pada 2014, serta metode penentuan program unggulan dan penyusunan operasi.
“Kami melakukan identifikasi probabilitas terjadinya inflasi komoditas. Indentifikasi probabilitas itu dilakukan berdasarkan faktor internal, seperti musim, siklus, tren, dan kebijakan serta faktor eksternal, seperti nilai tukal dan gejolak,” katanya.
Selain itu, kata dia, indentifikasi probabilitas juga dilakukan berdasarkan riset, di antaranya struktur pasar, ketahanan pangan, pola konsumsi mahasiswa, determinan pembentukan harga, serta survei penjualan eceran, dan survei konsumen.
Menurut dia, modus komoditas tersebut sebagai penyumbang inflasi peringkat 20 besar selama periode pengamatan 2011-2012.
Dari indentifikasi tersebut, kata dia, dilakukan penilaian terhadap sistem pengendalian risiko.
“Kualitas sistem pengendalian risiko itu ditentukan oleh empat hal, yakni pertama, keaktifan TPID dalam memantau perkembangan harga, kedua, keberadaan kebijakan, prosedur, dan penetapan batasan risiko, keempat, optimalnya proses manajemen risiko seperti identifikasi, pengukuran, pemantauan, dan pengendalian risiko, serta keempat, rekomendasi yang aplikatif dan efektif,” katanya.
Ia mengatakan bahwa selanjutnya akan dilakukan rekap nilai risiko akhir seluruh komoditas yang berisiko dengan pilihan mitigasi berupa probabilitas dikurang, dampak dikurangi, dan penguatan pengendalian, sedangkan target mitigasi berupa risiko tinggi menjadi sedang atau rendah dan risiko sedang menjadi rendah.
Menurut dia, data yang digunakan dalam identifikasi tersebut berasal dari Badan Pusat Statistik (BPS) agar tidak tumpang tindih.
“Kami hanya mengolahnya,” kata dia menjelaskan.
Lukman mengatakan bahwa dalam pengendalian inflasi tersebut juga dilakukan sinergi antara TPID serta pihak produsen dan pengecer.
Usai mendengarkan paparan dari Deputi Kepala KPw BI Jember Lukman Hakim, Penjabat Sekretaris Daerah Purbalingga Kodadiyanto mengaku senang karena bisa menimba ilmu dari TPID Jember dalam hal pengendalian inflasi.
“Kalau TPID se-eks Keresidenan Banyumas mau, predikat TPID Terbaik bisa bergeser ke barat (Banyumas, red.) karena program-program (yang disampaikan KPw BI Jember) sudah ada di SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah),” katanya.
Sementara Asisten Ekonomi Pembangunan dan Kesejahteraan Rakyat Sekretaris Daerah Cilacap Dian Setiabudi mengatakan bahwa apa yang dilakukan TPID Jember sebenarnya hampir sama dengan TPID se-eks Keresidenan Banyumas.
“Perbedaannya dalam manajemen. Kalau di sini (Jember) sudah pakai hitungan-hitungan, kalau di Banyumas masih sporadis,” katanya.
Belajar dari filosofi kopi itulah, pengendalian inflasi bisa dilakukan. Mengenal karakter kopi sama caranya dengan mengenal penyebab inflasi. Kalau sudah mengenalnya, tinggal bagaimana memberikan resep yang tepat. Bisa menambahkan gula pada kopi. Atau menggelar operasi pasar saat harga sedang melambung tinggi.
Aris Andrianto