Puisi-puisi Syamsul Bahri
Purnama Mengecup Keningmu
Malam ini, purnama mengecup mesra keningmu
Mengecap senyum dalam dinding-dinding wakru
Terpancar segala ingar di setiap kedipnya
menjabat erat sepasang mataku
Tuk tetap singgah dan bermalam di matamu
Barangkali, pertemuan kali ini adalah perpisahan esok
Aku lebih baik tiada bersama langkah yang tak ada jejaknya
Kutunggu derai deras air matamu
Melihatku dipangkuan penuh nista
dengan seluruh pandangan
yang terpaku yang terpaut di hari-hari kepedihan
Subang, 08 April 2020.
Dijerat Renung
Di antara pagar-pagar yang tinggi
Dijerat renung
Tak terungkap
Digurat oleh rasi-rasi gemintang
Menghampiri jiwa yang terlampir dari hati sanubari
Di rumah tempat berlomba dahaga
Patahnya wajah-wajah tanpa laga
Menimba rasa sunyi dalam hati
Patuh pada yang sedang menepi
Di atas bumi meratap
Antara pergi dan menetap
Ada yang harus mati ketika aku terlelap
Ketika aku keluar dari selembar atap
Terlindung dari dirundung pilu
Tetap berkemah
Menunggu wabah ini pergi dari rumah
Subang, 08 April 2020
Meneguk Jarak
1/
Untuk Ia yang sudah fana. Di kala semua terlelap dlam laci-laci kesedihan; merana dan telah kusembunyikan rona itu. Tak ada niat sederhana tuk kembali berpendar. Yang bisa saja kau lupa dengan segala; bencana, sebab langkahku amatlah lambat sedang lidahku kaku tak sempat ku keluarkan ludah.
2/
Untuk ia yang belum kekal. Yang baru saja berganti sisik; barangkali hanya rencana. Aku akan menyimpan segala apimu diam-diam. Kubuat kasar daun wajahnya. Agar semua tahu seluruh manusia telah kau buat tersayat-sayat.
3/
Untuk saat ini yang telah lahir kata-kata. Sudah terjalin tanpa ada rasa. Terasa janggal bila tak membawa jemawa tanpa aba-aba dan lekas menjadi abu-abu. Semoga kau baik-baik saja. Terikat dari rindu dan riuhnya tanpa sebuah ruh dalam kekosongan senja yang telah lalu — panjang umur untuk hal-hal yang aman dariku.
Subang, 8 Mei 2020
Menyetuh dalam Kesenyapan
Aku belum mabuk kepayang kemarin sore,
Terhalang oleh yang jalang, terkurung dalam tiang -tiang lampu.
Melolong lewat kolong meja, wajah pintu kian membeku.
Dalam menyembahpun, Tuhan sengaja tak hadir dalam relung keningmu.
Barangkali aku sudah tak waras, mencuci tangan seperti menelan batu keras.
Tak kenal dengan tubuhnya, sedang langit cemberut terdengar suara perutnya.
Dikala penimbun sedang membuncah, sedang ular melilit leher-leher si miskin.
Oh, mereka belum mengakui tentang adanya ranjang-ranjang berduri.
Telah tiba pada sebuah sejadah bertuliskan “di rumah aja dulu! Bangsat!
Aku menyihir telinga mereka dengan mantra-mantra mujarab.
Tanpa meminta sepeserpun doa dengan jaminan surga di selasar rumah belaka. Mereka berlari membenamkan diri masing-masing.
Tak ada manusia di atas bumi ini, berjalan tanpa jejak dalam dunia yang maya.
Kutanya Tuhan, Ia malah menjawab “Sudah, work from home saja”
Kutanya agama, apakah sama antara Nabi dan Presiden?
Subang, 08 Mei 2020.
Kultus
i.
Sungguh, aku bisa mendekat dari bahagia yang separuh. Seperti senangnya menatap jendela namun rindu datang tanpa permisi dan pulang tanpa pamit. Atau redupnya jejak-jejak namun setiap ketuk sekejap mereka tak inginkan lagi aku bersinar. Atau tertahannya isak, terkuburnya rinai-rinai air mata dalam relung sebab yang lain masih terjaga dari yang lelap.
ii.
Cemasku sudahku makan tempo hari yang lalu, Pak. Pun juga gagal tak kuat sampai lambainya tangan dibalik pagar-pagar yang rendah dengan pipi tirusmu. Mungkin, aku memanglah setengah air dan setengahnya lagi adalah anak-anak air. Kau tahu, Pak. Mereka yang tersisa bisa membuat sekujur tubuhmu basah. Bulir-bulir yang berlinang namun akan menjadi kenang.
iii.
aku setengah terbang ini, Pak. Aduhai kasih, aku memakai parasut dikedua lenganku! Terpelanting mengelilingi Zohrah dan Utarid namun Bumi tak bisa ku pijak lagi. Meminta setan ‘tuk bergegas mengikat tangan-tangan yang sedang berdoa. Memohon jiwa agar lekas terang dari segala irisan cemas dalam jemala.
iv.
wahai segala yang patuh atas lahirnya rahim, lahirnya tangis, merekahnya cinta. Semoga kalian selalu terlimpah atas lapang dada bertengadah dalam tubuh cinta jika matahari tak sanggup menyinari lagi.
v.
‘tak terkecuali, dan yang terpenting adalah kau aku. Pendar. Semoga aman dalam setiap aminku.
Subang, 08 April 2020.
Tangisan Puan
Pusara itu tertimbun rerumpunan tebal diselimuti luruhan daun
Yang kekal
Gemersik angin di bawah injakan kaki
Ku hampiri dan ku ciumi nisan itu dan kudekapnya
Seakan mengucapkan selamat datang untuk selamat tinggal
Selama-lamanya
Betapa moleknya pusaramu
Bertabur bunga-bunga kehidupan
Mengalir air kematian
Untuk anakku minum
Meminum air matanya sendiri
(2020)
Cermin Kematian
Relung gundah telah tersuar
Menapak tilas di samping tugu tersiar jauh
Air telah membakarku dari segala durjana
Membaka tak bertempat hanya aku dan puisi
Tak ada pendar apapun di sini
Hanya pantulan dari cermin-cermin kematian
Sabda tak bisa menolong
Ia dan puisi hanya menertawakanku
Lalu meninggalkanku di kesunyian
(2020)
Dulu:
Fahmi Syahid
Dulu, kau sering singgah di rumah kecilku
Merekam waktu dan menuliskannya ke tembok hati kita masing-masing
Berusaha tak mengenali waktu
Berusaha tak mendengar suara detiknya
Kecuali degup jantungmu yang selalu aku nanti-nantikan
Dan suaramu telah menyihirku
Di hari-hari kesedihan
Saat ini, kau bahkan tak mengenali rumahku
Lupa caranya menggambar dengan krayon
Dan tembok berwarna putih itu
Telah luntur oleh derasnya air matamu
Yogyakarta, 2020.
Panjang umur
Chairil Anwar
Panjang umur untuk hari kematianmu
Merayakan dalam kesunyian
Rindu sebagai petasannya
Burung-burung jalang
Berkeliaran dalam kendang
Sepanjang hari bercericau
Menyambut hari kelahiranmu
Pohon-pohon meluruhkan daunnya
Rerimbunan daun menutupi pusaramu
Yang tak pernah orang tau
Orang-orang hanya menziarahi puisimu
Tidak dengan jasadmu
Puisi telah lahir dari rahimmu
Ia telah besar dan menua bersama waktu
Ia abadi dalam kesunyian
Dan kita senantiasa memeliharanya
sampai saat ini.
(Yogyakarta, 2020)
Carpe diem:
Memetik Jarak
Tuhan berkata lain tentang kau aku mengubur cahaya masing-masing
Menanak rindu yang ranum diatas tanah tak bernafas
Aku terlahir sebagai orang yang terakhir melihatmu
Menggurat segala isyarat
Menjerat segala yang taat
Aku melihat kabut berbayang-bayang asa
Berharap bisa memeluknya seperti biasa
tak ada yang kupetik disini
selain rintik-rintik kesedihan
yang tak berkesudahan
Aku pulih
dari kenang
dan
kau pilih
jadi kunang
(2020)
Membenci Jarak
Kota sekarang bermandikan wabah
Setelah kesunyian mendekap erat kota mati
Hari-hari terkena demam tinggi
Mereka meliburkan diri
Sampai matahari tergelincir
Dari ufuk barat
Seperti orang-orang,
Belajar dari ikhwal ingar-bingar dunia luar
Merindukan sesuatu yang tak sadar
Sambil menutup pintu
dan diri sendiri
Barangkali, kita suka berklandestin berjamaah
Hingga sulit tuk diterjemah
Dimana orang-orang memeiliki hobi baru; petak umpet
Lebih memeilih membenci jarak
Dan lenyap dalam senyap
Ditelan oleh jarak mereka masing-masing
(2020)
Biodata penulis
Syamsul bahri, lahir di Subang 12 Juli 1995. Seorang guru dan penulis puisi di salah satu lembaga Yogyakarta. Ia alumnus di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta dan Alumni Bengkel Teater Rendra dan menjadi pegiat Komunitas Seni Budaya (KSB) UNY di Yogyakarta. Sajak-sajaknya pernah tersiar di berbegai platform media dan Salah satu puisinya termuat dalam antologi bersama, antara lain: Carpe diem (Halaman Indonesia, 2020) dan Puisiku hidup, menghidupi (2020), Tabung Anti Korona (2020).