Purwokertokita.com – Mendengar nama Pulau Nusakambangan yang terletak di Cilacap, Jawa Tengah, sebagian orang mungkin akan berpikir tentang pulau penjara yang terisolasi dan menyeramkan.
Bukan hanya karena keberadaan enam lembaga permasyarakatan yang memiliki pengamanan khusus dan sudah berumur seratusan tahun. Keberadaan satwa liar seperti buaya muara, ular piton, macan kumbang atau macan tutul Jawa (Panthera pardus melas) yang menghuni hutan lindung di wilayah pulau ini, menjadi kengerian tersendiri.
Satwa-satwa liar penjaga alamiah Pulau Nusakambangan, membuat narapidana bakal berpikir seribu kali jika ingin meloloskan diri dari penjara. Apa lagi jika narapidana yang tersesat berhadapan dengan macan tutul Jawa, hewan predator yang dikenal soliter ini.
Menurut data dari Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Jawa Tengah wilayah Konservasi II, keberadaan macan tutul di Pulau Nusakambangan terdeteksi berjumlah 18 ekor. Dari 18 ekor ini, 12 di antaranya adalah jenis macan tutul (Panthera pardus). Sedangkan enam lainnya berjenis macan kumbang atau macan tutul Jawa.
Koordinator Polisi Hutan BKSDA Jawa Tengah wilayah Konservasi II, Rahmat Hidayat mengatakan, ke 18 jenis macan tutul itu terdeteksi terakhir kali pada Oktober 2017.
“Ketika itu, BKSDA Jawa Tengah memasang kamera pengintai (trap camera) di sejumlah lokasi Pulau Nusakambangan. Sayangnya, kamera yang terpasang tak mendeteksi ada anak macan tutul,” katanya, Jumat (16/2).
Tidak terdeteksinya keberadaan anak macan tutul, Rahmat menjelaskan, lantaran kamera pengintai tak dipasang menyeluruh di Pulau Nusakambangan.
“Tetapi kalau kami memasang kamera trap, kami belum pernah menjumpai yang anakan. Terakhir tahun kemarin, bulan Oktober,” tambahnya.
Keberadaan makanan alamiah bagi macan tutul seperti biawak, kera, babi hutan dan berbagai jenis ikan, udang, kepiting, ular dan kancil, dianggap mendukung untuk kehidupan macan tutul di pulau penjara ini.
Karena itu, Rahmat menuturkan, perlu ada perlindungan dan peningkatan konservasi untuk kawasan hutan habitat yang memiliki luas sekitar 500 hektare. “Terutama koridor habitat kehidupan liar di Nusakambangan,” katanya.
Pulau yang dimiliki oleh Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia ini memiliki luas mencapai 121 kilometer persegi. Sebagian digunakan untuk lembaga permasyarakatan dan infrastruktur pendukung, sebagian lagi dibuka untuk wisata di sisi pulau timur.
Namun, beberapa bagian di antaranya telah dirambah manusia, ada pula penambangan kapur untuk semen. Sisanya adalah hutan lindung dan koridor konservasi di tengah selatan dan barat pulau.
Keberadaan penambangan dan perambahan liar dikhawatirkan dapat mengancam koridor habitat satwa yang tersisa. Tak heran, berulang kali akitivis konservasi dan mahasiswa pecinta alam melakukan demonstrasi meminta penambangan dan pembalakan di pulau tempat tinggal macan tutul ini segera dihentikan.
Qitfirul Rizal Azis, dari Komunitas Mahasiswa Pencinta Alam Imam Ghazali Pecinta Alam (KMPA Ighopala), pada Desember 2017 lalu sempat menyampaikan, rusaknya ekologi di Pulau Nusakambangan merupakan salah satu dampak dari korporasi yang tidak bertanggung jawab.
Di luar fungsi monumentalnya sebagai pulau penjara, Nusakambangan adalah salah satu hutan lindung terakhir di kepulauan Jawa. Sebab itu, penambangan kapur untuk bahan baku semen dan penebangan hutan harus dihentikan.
Pulau Nusakambangan juga berfungsi sebagai benteng dari kemungkinan bencana tsunami, seperti yang pernah terjadi di tahun 2006. Saat itu Kota Cilacap tak terdampak tsunami lantaran keberadaan pulau ini.
Berbeda dengan daerah lainnya, Pangandaran dan Cilacap bagian timur, seperti Pantai Widarapayung dan Binangun yang terdampak tsunami dan menyebabkan jatuhnya ratusan korban jiwa.
Menurut Rizal, lemahnya fungsi pengawasan, hukum, tata kelola dan kebijakan pemerintah ikut memengaruhi degradasi lingkungan di Cilacap. Jika pemerintah tak bersikap tegas kepada korporasi, dia khawatir, persoalan lingkungan di Cilacap akan semakin menumpuk. (RS/YS)